Salah satu indikator yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Semakin tinggi AKI dan AKB, maka semakin rendah kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya semakin rendah AKI dan AKB maka kesejahteraan masyarakat suatu negara meningkat.
Masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Provinsi Banten untuk menurunkan angka AKI dan AKB yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Apalagi, Banten disebut-sebut salah satu daerah penyumbang terbanyak kasus tersebut.
AKI dan AKB, merupakan indikator yang penting untuk mencerminkan keadaan derajat kesehatan di suatu masyarakat, karena bayi yang baru lahir sangat sensitif terhadap keadaan lingkungan tempat orang tua si bayi tinggal dan sangat erat kaitannya dengan status sosial orang tua si bayi. Kemajuan yang dicapai dalam bidang pencegahan dan pemberantasan berbagai penyakit penyebab kematian akan tercermin secara jelas dengan menurunnya tingkat AKB. Dengan demikian angka kematian bayi merupakan tolok ukur yang sensitif dari semua upaya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya di bidang kesehatan.
AKB cenderung lebih menggambarkan kesehatan reproduksi dari pada AKBa. Meskipun target program terkait khusus dengan kematian balita, AKB relevan dipakai untuk memonitor pencapaian target program karena mewakili komponen penting pada kematian balita. AKB terutama terjadi pada umur 0-28 hari, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi ibu pada saat hamil, bersalin dan perawatan bayi baru lahir.
Kematian Ibu adalah kasus kematian perempuan yang diakibatkan oleh proses yang berhubungan dengan kehamilan (termasuk hamil ektopik), persalinan, abortus (termasuk abortus mola), dan masa dalam kurun waktu 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa melihat usia gestasi, dan tidak termasuk di dalamnya sebab kematian akibat kecelakaan atau kejadian insidental.
Diketahui sebelumnya, data selama lima tahun, sejak 2017 sampai 2021, Provinsi Banten banyak memberikan sumbangan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) secara nasional. Bahkan Banten menempati posisi lima besar sebagai daerah dengan AKI/AKB tertinggi.
Kepala Bappeda Banten, Mahdani, saat membacakan sambutan Pj Gubernur Banten Al Muktabar pada acara pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) tingkat Provinsi Banten 2022 Project Momentum Private Healthcare Delivery (MPHD) Rabu (28/9) mengatakan, jumlah AKI mengalami peningkatan sangat tajam pada tahun 2021 yakni diangka 298.
“Saat ini, Provinsi Banten masih menghadapi tantangan dalam upaya pelayanan kesehatan. Masalah kesehatan adalah masalah bersama, Banten selama lima tahun ini masuk lima besar secara nasional. Dan tahun 2021 AKI cukup tinggi yakni 298 kasus. Mungkin ada Covid-19 yang menyertakan kematian ibu dan bayi,” katanya.
Sementara untuk tahun 2022 sampai dengan bulan September ini pemprov mencatat ada 137 kasus AKI. Paling banyak di Kabupaten Serang.
“Ibu meninggal akibat melahirkan, dari 137 kasus itu menyebar di Kabupaten Pandeglang 17, Lebak 28, Kabupaten Tangerang 21. Kabupaten Serang 31, Kota Tangerang 2. Cilegon 3, Kota Serang 17, dan Tangerang Selatan ada 8 kasus,” katanya.
Sementara data pada Dinkes Banten lanjut Mahdani, AKI pada tahun 2018 sebanyak 247 kasus, tahun 2019 sebanyak 212 kasus, dan tahun 2020 ada 242 kasus.
“Adapun kematian bayi (AKB) pada saat melahirkan, pada tahun 2018 sebanyak 1.158 kasus, tahun 2019 ada 1.299 kasus, tahun 2020 ada 1.121 kasus,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Banten, Barhum mengaku, kurang maksimalnya pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan penekanan AKI dan AKB. Diperlukan kerja keras dan terarah secara terus menerus oleh pemerintah dalam menghadapi persoalan tersebut.
“Untuk mengatasi persoalan tingginya AKI dan AKB, semua stakeholder harus bersatu mulai dari pemprov sampai dengan kabupaten/kota,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pemprov harus melakukan pengecekan ke lapangan, guna memastikan dan mengetahui seperti apa fakta di lapangan atas kasus itu. “Jadi pemprov ini tidak hanya menerima laporan dan data dari kabupaten/kota saja. Tapi mengecek langsung, ada berapa banyak kasus AKI dan AKB,” ujarnya.
Dari data yang diperoleh tersebut kata Barhum, nanti akan diketahui di desa atau kelurahan mana saja terdapat AKI maupun AKB. “Dari situ, kita bisa membuat program untuk mengatasi itu. Apalagi saat ini layanan kesehatan sesuai UU, minimal 10 persen anggarannya harus disiapkan dalam APBD setiap tahun. Jadi kita bisa buat program prioritas,” ujarnya.
Dan yang terpenting lagi program penanganan AKI dan AKB tidak hanya dilakukan oleh pemprov, tetapi juga kabupaten/kota. “Harus sinergi, dan dilakukan secara masif. Karena bagaimanapun AKI dan AKB ini menunjukan indikator derajat kesehatan,” ujarnya.
Sinergitas dan program berkelanjutan dalam penanganan AKI dan AKB diyakini Barhum, akan mampu mengentaskan permasalahan tersebut. “Saya yakin itu bisa diatasi,” katanya.
Barhum yang merupakan politisi PDI Perjuangan ini juga meminta pemprov dan kabupaten/kota harus segera melengkapi sarana dan prasarana fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas. “Tingkatkan lagi peran Posyandu yang ada di kampung-kampung. Karena dengan Posyandu, penanganan pertama untuk ibu hamil dapat terpantau,” jelasnya.
Dengan maksimalnya peran Posyandu dan mudahnya akses kesehatan didapat masyarakat, bukan saja berdampak pada penekanan AKI dan AKB. Tapi dapat menangani masalah stunting. “Jadi program AKI dan AKB ini tidak bisa dipisahkan dengan stunting. Saling ada keterkaitan,” katanya.
Sementara itu, Direktur RSUD Banten, Dadang Hamzah Nugroho mengungkapkan, sesuai arahan langsung dari Al Muktabar, program penekanan AKI dan AKB telah dilakukan dengan melengkapi sarana dan prasarana untuk kesehatan masyarakat.
“RSUD Banten saat ini susah sangat lengkap semua fasilitasnya untuk masyarakat yang membutuhkan. Mulai dari tenaga medis dan fasilitas. Dan kami telah berupaya memberikan pelayanan, termasuk ibu dan bayi. Program dari Pak Pj Gubernur Banten, tentunya akan kami maksimalkan lagi,” ujarnya.
Apalagi lanjut Danang, saat ini RSUD Banten memiliki kapasitas rawat inap sebanyak 491 tempat tidur (TT), dengan begitu RSUD Banten bisa menampung banyak pasien yang ingin mendapatkan pelayanan prima dari Rumah Sakit milik tersebut.
Tidak hanya warga Kota Serang saja yang bisa berobat. Namun, dari seluruh daerah lainnya yang ada di Provinsi Banten juga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di RS rujukan milik Pemprov Banten.
Lebih jauh Danang menjelaskan, saat ini RSUD Banten memiliki tiga gedung utama yang difungsikan sebagai sarana fasilitas kesehatan.
Baik gedung lama atau gedung baru 8 lantai, semua diperuntukan bagi masyarakat yang ingin berobat ke RSUD Banten.
Mengenai pelayanan kesehatan pada gedung lama sendiri, menurut Danang, tersebar pada 4 lantai-lantai pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Mulai dari IGD non Covid dan Covid, klinik rawat jalan yang terdiri dari anak; tanjung anak; kandungan; kulit kelamin; HIV; mata; bedah umum; bedah digestive; bedah saraf; bedah vaskuler; bedah mulut; konservasi Gigi; gigi; paru dan Tb-DOTS).
“Di gedung lama, terdapat pula ruang NICU/PICU, Rawat Inap Non Covid, Ruang Bedah Sentral Non Covid, Farmasi, Bank Darah, Laboratorium untuk pengambilan sampel rawat jalan dan Klinik Rawat Jalan, Radiologi dan Hiperbarik. Di gedung lama ini juga nantinya Insyaallah akan direnovasi baik eksterior dan interiornya tahun ini. Dengan begitu, tampilannya akan seimbang dengan gedung baru 8 lantai setelah selesai dibangunkan kedepan nantinya,” terang Danang.
RS Banten juga memiliki gedung Hijau atau gedung Cendrawasih yang berdiri 3 lantai di dalamnya, memiliki ruangan ICU, NICU/PICU, Hd Covid, Rawat Inap Covid dan ruang bedah sentral Covid pada gedung hijau ini.
Sedangkan untuk gedung 8 lantai RSUD Banten yang baru saja selesai dan diresmikan baru-baru ini, sambung Danang, terdapat sejumlah peningkatan dan penambahan pelayanan kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat. Mulai dari Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Patologi Anatomi, Laboratorium Urinalisis dan Klinis serta ICU Non Covid dan isolasi yang berada di lantai satu.
“Untuk lantai 2, terdapat fasilitas Farmasi, Rehabilitasi Medik, Klinik Rawat Jalan untuk penyakit dalam, saraf, jantung THT, jiwa, medical check up), serta Aula,” tuturnya.
Sementara untuk lantai 3 hingga 8, terdapat beberapa fasilitas, diantaranya HD VVIP, HD VIP, HD Regulasi, HD Isolasi, Rawat Inap Kelas Tiga, Isolasi, Rawat Inap Kelas Dua, Rawat Inap Kelas Satu, Ruangan Isolasi, Rawat Inap VVIP, Rawat Inap VIP, Rawat Isolasi.
“Selain 3 gedung utama tersebut, RSUD Banten juga memiliki layanan Hiperbarik yang terletak di sisi Barat Laut gedung 8 lantai,” katanya.(RUS/PBN)
Tinggalkan Balasan