PANDEGLANG, BANPOS-Ketahanan keluarga menjadi salah satu hal yang penting dalam menekan angka kekerasan anak maupun kekerasan pada anak. Selain itu, efek negatif dari gadget dan medsos juga dirasa semakin tidak terkendali.
“Untuk kasus kekerasan pada anak secara bersamaan merupakan efek domino dari media, tapi dalam artian media yang positif. Karena adanya informasi misalkan ada orang yang melapor, saya juga mau melapor dong. Jadi efek dari medianya ini memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa Ketika terjadi kekerasan maka dia boleh melapor dan orang juga bisa,” kata Psikolog, Rika Kartikasari, M.Psi kepada BANPOS, Kamis (20/10).
Menurutnya, dari sejumlah kasus yang ditanganinya sejak tahun 2019, kasus tersebut sangat banyak. Namun kasus tersebut seperti fenomena gunung es, terlihatnya sedikit tapi dibawahnya cukup banyak.
“Mungkin kita tidak tahu, apakah orang tersebut tidak melapor atau tidak ketahuan atau mungkin sudah parah seperti itu. Kasusnya memang banyak, apalagi pada bulan ini. Kekerasan fisik sekarang malah lebih banyak dibandingkan tahun kemarin,” terangnya.
Untuk penyebab anak menjadi pelaku kekerasan, Rika menyebut bahwa anak tersebut karena melihat contoh yang telah dilakukan oleh orang lain yang ditampilkan di beberapa media sosial (Medsos).
“Dari kasus yang telah saya tangani itu yang pertama melihat contoh, jadi karena ada medsos yang menampilkan, media televisi yang menampilkan. Sehingga anak tersebut melakukannya. Bisa juga dia melakukan hal yang sama karena perlakuan yang diberikan orang tuanya atau orang sekitarnya. Jadi dia menganggap bahwa hal itu memang boleh dilakukan,” ujarnya.
Kata Rika lagi, untuk perkembangan kasus kekerasan atau kriminal dengan pelaku anak berdasarkan kasus yang telah ditanganinya banyak yang tidak melapor, saat ini trend nya bullying fisik dengan tawuran.
“Memang yang tawuran ini saya belum memegang secara langsung, karena saya tahu juga dari media. Tapi kalau bullying secara fisik seperti berantem atau pengeroyokan misalnya, saya tangani di tahun ini agak banyak dibandingkan tahun kemarin. Ya seperti musim-musiman begitu,” paparnya.
Sedangkan untuk upaya pencegahan Tindakan kekerasan dengan pelaku anak, Rika mengatakan bahwa salah satu kuncinya ada pada ketahanan keluarga.
“Jadi diberikan pemahamannya mulai dari keluarga, misalnya memberikan pemahaman bahwa aktivitas fisik misalnya memukul orang itu tidak baik. Jadi entah bisa dari penanaman agamanya, karena agama manapun pasti melarang. Kemudian dari sosialnya dia diberikan kesadaran bahwa jika kamu memukul orang lain, belum tentu orang lain diam saja. Jadi penanaman di keluarga,” katanya.
“Saya juga beberapa kali pernah akhir-akhir ini karena mungkin maraknya kasus, beberapa sekolah baik di Kabupaten Lebak, di Serang dan di Pandeglang, saya diminta untuk menjadi narsum pencegahan kekerasan di sekolah kepada siswa misalnya dalam bentuk bullying dan perkelahian. Ini salah satu bentuk sekolah yang aware dan sadar bahwa mereka ini harus diberikan program untuk pencegahan itu,” sambungnya.
Dalam memberikan hukuman kepada anak, kata Rika, di Indonesia ini hukumannya masih mencoba memberikan hukuman kepada anak tidak sama dengan memberikan hukuman seperti orang dewasa.
“Jadi ada perlakuan perbedaan hukum kepada anak dan juga kepada orang dewasa dengan pertimbangan bahwa agar anak ini secara mental tidak drop, kalau misalnya di persidangan. Kalau dia dipenjara bagaimana kondisi mentalnya, kemudian apakah dia mendapatkan perlakuan yang sama misalnya belajar dengan sesama narapidana, inikan nantinya ada perbedaan hukum. Kalau dari sisi psikologi, ini memang sudah sangat mencoba memahami hukuman kepada anak, hanya saja mungkin perlu pendampingan yang ekstra bagi anak-anak yang sudah melakukan pelanggaran tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala UPT P2TP2A DP2KBP3A Pandeglang, Mila Oktaviani mengatakan, untuk kasus tindak kekerasan pada saat ini, masyarakat sudah memahami hukum.
“Jadi setiap ada kasus tindak kekerasan pada anak, langsung melaporkan kepada pihak kepolisian,” katanya.
Menurutnya, untuk penyebab seorang anak menjadi pelaku kekerasan salah satunya untuk saat ini adalah pengaruh dari gadget, sedangkan dulu yang menjadi penyebabnya karena saling mengejek.
“Dulu mungkin penyebab tawuran karena saling ejek, kalau sekarang penyebabnya mungkin pengaruh dari gadget. Kalau pada anak, yang saya tahu selama saya baru dua bulan disini saya kira pengaruh dari gadget. Karena dari kasus yang pertama saya tangani, anak yang berantem Ketika saya tanya pengaruhnya ternyata dari gadget dan yang kedua karena kurangnya pengawasan dari orang tua,” terangnya.
“Dari 13 kasus yang terjadi hampir dua bulan ini, karena orang tuanya sibuk karena pekerjaan kesehariannya sehingga anaknya tidak terawasi. Mungkin dari lingkungan juga bisa mempengaruhi anak untuk berbuat seperti itu,” sambungnya.
Untuk tren atau perkembangan kasus kekerasan atau kriminal pelaku anak, lanjut Mila, masih didominasi kasus pelecehan seksual pada anak, karena untuk pelaku anak usia diatas 14 tahun banyak dilakukan berdasarkan suka sama suka.
“Untuk usia anak diatas 14 tahun, kasusnya dilakukan suka sama suka. Ada juga kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh temannya sendiri juga ada, karena kasusnya banyak banget. Jadi laporannya mengaku diperkosa, padahal saat kita kaji ternyata laporannya berbeda,” ujarnya.(dhe/pbn)
Tinggalkan Balasan