SERANG, BANPOS – Buruh di Banten meminta kepada pemerintah agar Upah Minimum (UMP) 2023 nanti naik diangka 10 sampai dengan 13 persen dari upah minimum tahun 2022.
Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Banten Intan Indria Dewi saat dihubungi melalui telpon genggamnya Sabtu (29/10) mengungkapkan kenaikan upah 13 persen dirasa wajar. Apalagi beberapa waktu lalu pemerintah pusat telah menikan harga bahan bakar motor (BBM) bersubsidi jenis Petralite dan Solar.
“BPS pernah mengeluarkan semacam angka kecukupan (hidup minimum di Banten) yang nilainya Rp 1 jutaan. Data macam apa itu?. Kita semua tahu, siapa yang bisa hidup dengan uang segitu.
Dan salah satu dasar dari besaran kenaikan upah yang diinginkan pihaknya itu adalah kenaikan harga BBM yang terjadi beberapa bulan lalu,” kata Intan.
Ia menjeleskan atas kondiis ekonomi saat ini, dipastikan akan mendorong terjadinya inflasi. Sedangkan besaran upah yang akan mendorong daya konsumsi masyarakat diyakini sebagai salah satu yang dapat meredam inflasi. Dan pihaknya bersama seluruh serikat pekerja dan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat pekerja Indonesia (KSPI) akan menggalang kekuatan untuk mengegolkan tuntutan kenaikan upah minimum 2023 sebesar 10 sampai13 persen tersebut. “Kalau pemerintah sudah bisa dipastikan mereka akan bersandar PP 36. Tidak aka nada kenaikan yang signifikan kalau sandarannya PP 36 itu. Paling naik 2-3 persen,” paparnya.
Sebelumnya Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakeetrans) Banten Septo Kalnadi meminta buruh di Banten melalui serikat pekerja yang mewakilinya pro aktif mengawal perumusan upah minimum 2023 tahun depan. Pengawalan di maksud sebagai langkah antisipasi yang bisa dilakukan ketimbang upaya-upaya penolakan upah minimum setelah ditetapkan oleh pemerintah.
Septo mengaku sudah mengimbau serikat pekerja dalam forum dewan pengupahan Provinsi Banten yang dihadiri unsur dari dewan pengupahan tingkat kabupaten/kota, termasuk dari serikat pekerjanya. “Kami sudah mengimbau di forum tersebut agar teman-teman buruh melalui serikat pekerjanya memiliki data pembanding hasil survey mandiri untuk dijadikan argumen terhadap data pemerintah dan pengusaha yang basisnya dari BPS (badan pusat statistik),” katanya.
Menurut Septo, survei mandiri terkait data-data harga kebutuhan layak (HKL) akan menjadi data pembanding yang kuat dalam memperjuangkan aspirasi buruh terkait besaran upah minimum. “Saya kira teman-teman buruh melalui SP (serikat pekerja) sangat bisa melakukan (survey mandiri) itu,” katanya.
Dengan dimilikinya data pembanding yang valid dan indipenden karena hasil survei mandiri, lanjutnya, pemerintah daerah sebagai wasit atau penengah antara SP dan pengusaha melalui Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dapat memberikan dukungan yang objektif terhadap perjuangan buruh terkait dengan besaran upah minimum. “Karena kan kalo pemerintah dan pengusaha mah basis datanya sama, BPS. Nah kalau buruh punya data pembanding kaitan misal kemudian upah minimum di bawah tuntutan buruh, pemda dalam hal ini kepala daerah bisa memberikan kebijakan diskresi,” paparnya.
Data hasil survei mandiri versi buruh, kata Septo, juga dapat dijadikan dasar apabila di kemudian hari ada gugatan dari para pihak yang merasa keberatan dengan kebijakan diskresi kepala daerah terkait upah minimum tersebut.
Sementara itu, Kepala Seksi Pengupahan dan Jamsos pada Disnakertrans Karna Wijaya, mengatakan, kebijakan pengupahan sejak beberapa tahun terakhir bukan hanya menjadi domain atau kewenangan Kementerian Tenaga Kerja. Melainkan, lanjutnya, juga menjadi domain Kementerian Dalam Negeri.
Menurutnya, hal itu disebabkan masalah pengupahan buruh sejak 2 tahun terakhir ini masuk ke dalam ranah kebijakan strategi Nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. “Jadi nanti SE (surat edaran) Kemenaker tentang upah minimum juga harus melalui supervisi dan pertimbangan dari Kemendagri,” katanya.
Terkait dengan itu salah satunya, kata Karna, besaran upah minimum sulit diprediksi. Meski Karna mengakui jika rumusan tentang penetapan upah minimum tersebut memang secara umum akan diatur melalui SE Kemenaker dengan item-item penentu seperti angka inflasi hingga laju pertumbuhan ekonomi. “Tapi ya itu tadi besarannya masih unpredictabel karena banyak faktor, makro, mikro dan kebijakan-kebijakan di atss (pemerintah pusat),” katanya. (RUS/AZM)
Tinggalkan Balasan