INDONESIA, BANPOS – Potensi atau sumber-sumber energi bersih tersebar di berbagai pelosok daerah. Semua potensi itu menjadi peluang bagi banyak daerah mewujudkan kemandirian menyediakan energi bersih. Tantangannya adalah membangkitkan kepedulian dan minat daerah untuk segera mengolah dan memanfaatkan semua potensi itu.
Sepanjang periode transisi energi sekarang ini, semua daerah dan komunitas hendaknya didorong untuk segera bergerak bersama-sama mengidentifikasi dan memahami sumber-sumber energi bersih dalam lingkungan kehidupan masyarakat setempat, baik potensi dalam wujud sungai, air terjun, sinar matahari hingga angin.
Kebutuhan akan gerakan dan langkah bersama itu bertujuan membangkitkan kepedulian dan minat semua komunitas mewujudkan kemandirian menyediakan energi bersih.
Pemerintah dan sejumlah pakar energi dalam beberapa kesempatan terdahulu berulangkali memaparkan keberagaman sumber energi bersih di dalam negeri. Potensi pembangkit listrik tenaga hidro terbilang sangat besar, karena Indonesia memiliki 4.400 sungai. Lokasi ribuan sungai itu tersebar di berbagai daerah.
Tak kalah melimpahnya adalah potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal). Potensi yang terkandung dari pembangkit geothermal sangat besar, mencapai 29 ribu megawatt (GW). Sayangnya, sejauh ini, baru bisa direalisasikan sekitar 2.000 Megawatt.
Hasil kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mencatat bahwa potensi teoritis energi surya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mencapai 66 GW. Dari potensi 66 GW itu, potensi teknis energi surya mencapai hampir 10 GW atau sekitar 9,9 GW. Karena itu, Kementerian ESDM memastikan pengembangan PLTS akan jadi tumpuan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) beberapa tahun ke depan.
Pemerintah dan sejumlah komunitas sudah berinisiatif. Kesungguhan pemerintah merealisasikan proyek PLTS berskala besar patut diapresiasi. Misalnya, proyek PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat. PLTS Cirata diproyeksi menghasilkan kapasitas listrik hingga 145 megawatt (MW). Sudah barang tentu penggunaan area perairan sebagai sumber energi dapat direplikasi di seluruh wilayah Indonesia.
Sedangkan di Desa Wineru, Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Vena Energy sejak 2019 telah membangun PLTS. Di atas lahan seluas 29 hektar yang berlimpah sinar matahari, terbentang 64.640 panel surya. Dirancang dengan kapasitas terpasang 21 MW, PLTS Likupang sudah menyalurkan listrik sampai 15 MW per hari.
PLTS dalam skala yang lebih kecil pun sudah direalisasikan di beberapa tempat. Misalnya, masyarakat di pulau-pulau kecil di sekitar Labuan Bajo kini telah menikmati listrik yang bersumber dari tenaga surya. PLN membangun PLTS untuk memenuhi kebutuhan daya listrik bagi warga Pulau Messah, Papagarang, Seraya Marannu, dan Batu Tiga Boleng. Atau, warga di Dusun Yarweser, Kampung Arefi Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua, kini sudah dapat menikmati daya listrik berkat bantuan 30 unit mikro PLTS dan energy storage dari PT PLN.
Komunitas pelaku bisnis juga peduli energi bersih. Inisiatif PT Astra Honda Motor (AHM) menggunakan EBT layak menjadi contoh. Sejak 2014, sebanyak 18.270 modul panel surya terpasang di atap gedung pabrik AHM Karawang dan Cikarang. Selain kedua pabrik tersebut, solar panel juga terpasang di AHM Safety Riding & Training Center Deltamas, Jawa Barat. Sumber listrik itu digunakan untuk mendukung kegiatan produksi sepeda motor.
Bali dicatat sebagai provinsi paling progresif dalam memanfaatkan potensi EBT. Demikian seriusnya sehingga pemerintah daerah setempat menerbitkan beberapa kebijakan sebagai peta jalan mewujudkan Bali Energi Bersih. Program EBT yang secara masif akan diimplementasikan di Bali adalah pemasangan PLTS Atap. Selain itu, dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Pesanggaran, Denpasar, berkapasitas 2×100 MW. Pemda Bali juga memberlakukan ketentuan tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Contoh-contoh daerah atau komunitas yang berhasil memanfaatkan potensi sumber energi bersih ini layak dikedepankan untuk membangkitkan kepedulian dan minat komunitas di daerah lain. Semua potensi atau sumber-sumber energi bersih itu tersebar di berbagai pelosok daerah. Dengan begitu, semua potensi itu menjadi peluang bagi banyak daerah mewujudkan kemandirian menyediakan energi bersih. Agar semakin banyak daerah dan komunitas yang peduli dan berminat, aktivitas promosi transisi energi hendaknya lebih ditingkatkan.
Boleh jadi, ungkapan dan makna tentang ‘transisi energi’ baru didengar dan dipahami oleh kalangan terbatas. Karena itu, Kementerian ESDM, Pertamina dan PLN perlu mengambil inisiatif mempromosikan kepada masyarakat makna transisi energi dengan segala agenda, program dan target.
Apalagi, pemerintah telah mematok target penambahan PLTS sampai 5,3 GW yang tersebar di sejumlah wilayah hingga tahun 2030, baik PLTS Terapung maupun PLTS Atap. Selain itu, Pemerintah pun telah berketetapan menjadikan sumber energi surya sebagai faktor pendorong percepatan pencapaian bauran EBT 23 persen pada 2025.
Boleh jadi, dengan memperbesar skala promosi dan penyebaran informasi yang intensif, akan semakin banyak daerah dan komunitas yang peduli dan berminat merealisasikan PLTS Atap. Apalagi tersedia insentif PLTS Atap berupa dana hibah yang disediakan pemerintah bekerja sama dengan UNDP (United Nations Development Programme). Insentif PLTS Atap menggunakan alokasi dana Hibah SEF (Sustainable Energy Fund) yang didistribusikan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Sebagai hal yang relatif baru bagi kebanyakan komunitas, melakoni transisi energi tentu bukan aktivitas yang mudah. Maka, peran pendampingan para ahli dan teknisi dari Kementerian ESDM, Pertamina dan PLN jelas sangat dibutuhkan oleh masyarakat.(RM.ID)
Tinggalkan Balasan