BALI, BANPOS – Bank Dunia siap mendukung langkah transisi energi di Indonesia guna mengurangi emisi karbon. Antara lain, melalui pembangunan energi baru terbarukan seperti energi surya, angin dan hydro.
Hal itu terungkap saat Managing Director of Operations Bank Dunia Axel van Trotsenburg bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di sela-sela Business 20 Summit di Nusa Dua, Bali.
“Indonesia sedang mengembangkan energi hydro di kawasan Kalimantan Utara. Nantinya listrik yang dihasilkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, namun dapat dijual ke Brunei Darussalam dan Filipina,” ungkap Airlangga.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, dukungan dari lembaga internasional dan negara maju penting bagi upaya transisi energi di negara berkembang seperti Indonesia.
“Karena Indonesia mempunyai resource yang berlimpah ruah tetapi tidak punya teknologi, tidak punya dana juga,” ungkapnya, Selasa (15/11).
Fahmy mencontohkan, mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dibutuhkan dana sekitar 500 miliar dolar AS. Hal itu tentu berat jika hanya ditanggung negara.
“Saya kira negara-negara maju dan lembaga seperti Bank Dunia, IMF membantu agar tercipta zero carbon,” tegasnya.
Fahmy menekankan pentingnya agenda G20 untuk mengingatkan negara maju dan lembaga internasional terkait Paris Agreement.
Kesepakatan itu mencakup bantuan untuk mitigasi perubahan iklim dengan memberikan dukungan pada aspek pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas pada negara berkembang.
Meski demikian, kondisi global sekarang sedang tidak baik-baik saja, sehingga realisasi komitmen tersebut akan terkendala.
Meski demikian, Fahmy mengatakan, Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum Presidensi G20 dan Keketuaan ASEAN 2023 untuk meneguhkan komitmen Paris Agreement.
Indonesia bisa menggalang suara dari negara ASEAN dan negara berkembang lain seperti Brazil, untuk bersama menyuarakan mitigasi perubahan iklim.
“Tanpa bantuan dari negara maju dan Bank Dunia, saya kira mustahil negara berkembang, termasuk Indonesia mewujudkan transisi energi,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, realisasi itu harus terus dikejar.
“Komitmen bantuan dari negara atau lembaga dunia harus dikejar. Jangan hanya jadi wacana,” kata Mamit, Selasa (15/11).
Dia menjelaskan, dunia saat ini bergerak pada penggunaan energi bersih. Namun perlu kerja sama antarsemua pihak untuk menuju target Net Zero Emission (NZE).
“Energi terbarukan adalah keniscayaan, semua sedang menuju ke sana. Banyak negara G20 berkomitmen menuju NZE, dan concern-nya untuk menuju ke sana dibutuhkan biaya yang tidak sedikit,” jelas Mamit.
Maka, kehadiran investor maupun bantuan dari lembaga dunia mutlak untuk meraih target tersebut.
Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030 sesuai Nationally Determined Contributions (NDCs). Dan untuk Net Zero Emission (NZE) sektor energi ditargetkan akan dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Di Bali, Direktur Bank Dunia Axel van Trotsenburg mengatakan, dukungannya terhadap reformasi ekonomi Indonesia telah terjalin sejak lama melalui berbagai program kerja sama.
Dengan adanya kebutuhan global untuk menangani perubahan iklim saat ini, Bank Dunia siap mendukung langkah transisi energi di Indonesia guna mengurangi emisi karbon.
“Antara lain, melalui pembangunan energi baru terbarukan seperti energi surya, angin, dan hydro,” ujar Trotsenburg.(PBN/RMID)
BalasTeruskan |
Tinggalkan Balasan