DINAS Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten mengancam akan mencabut izin PT Raja Goedang Mas (RGM) yang berlokasi di Kemang, Kota Serang. Pencabutan izin itu dilakukan apabila PT RGM yang saat ini masih dalam masa pemenuhan sanksi administrasi, ‘ngeyel’ dan masih melakukan aktivitas usaha.
Kepala DLHK Provinsi Banten, Wawan Gunawan, mengungkapkan bahwa pihaknya sengaja memasang garis Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan garis polisi, agar tidak ada lagi aktivitas usaha yang dilakukan. Sehingga harapannya, PT RGM dapat melakukan pemenuhan terhadap sanksi administrasi yang diterimanya beberapa waktu lalu.
“Dari PPNS line kan supaya tidak ada aktivitas pengumpulan (usaha), makanya saya police line, tidak boleh limbahnya dibakar. Kalaupun terbukti mencabut police line, betul-betul dia (PT RGM) mengadakan aktivitas (usaha), sudah menyalahi aturan, bisa dikeluarkan sanksinya,” ujarnya, Rabu (14/12).
Ia menegaskan, PT RGM tidak boleh melakukan aktivitas usaha apapun selagi perusahaan tersebut mendapatkan sanksi administrasi. Hal ini disebut sesuai dengan berita acara sanksi administrasi, yang apabila ada kegiatan transaksi atau pengumpulan, maka hal itu menyalahi aturan dan akan disanksi kembali jika tidak memenuhi pemenuhannya.
“Sanksinya sampai tiga kali empat kali, yasudah dicopot izinnya. Kita juga enggak tahu bahwa masyarakat juga apa betul (melihat) ada aktivitas limbah, apakah dia sedang memperbaiki pemenuhan, maka kita harus verifikasi,” terangnya.
Menurutnya, dalam sanksi administrasi itu ada beberapa pemenuhan yang harus dilakukan, salah satunya membuat benteng di lokasi yang sebelumnya digunakan untuk membakar limbah oli.
“(lokasi pembakaran) Itu kan ditutup di police line tanah bekas limbahnya. Saya kan minta hasil pemenuhannya harus di benteng, kalau tidak di benteng nanti adendum izinnya, makanya pemenuhan aja dulu, sok perbaiki saja dulu,” tuturnya.
Berdasarkan pantauan BANPOS, baik garis PPNS maupun garis polisi, tidak terpasang di pintu gerbang utama PT RGM. Padahal, sebelumnya DLHK Provinsi menyampaikan agar garis PPNS maupun garis polisi boleh dicopot sementara saat kendaraan akan memasuki lokasi pemenuhan sanksi administrasi, setelah kendaraan masuk maka garis tersebut harus dikembalikan seperti semula.
“Perusahaan itu kan sudah disanksi dan ada beberapa poin yang harus dipenuhi. Kalau mau pemenuhannya itu akan diperbaiki masalah IPAL nya silahkan, PPNS line dibuka untuk pemenuhannya,” tuturnya.
Diakhir, Wawan menegaskan apabila perusahaan yang dicap oleh warga melakukan pencemaran itu masih melakukan aktivitas usaha, maka PT RGM tidak niat dalam melakukan pemenuhan. Maka dari itu, pihaknya melakukan inspeksi mendadak (sidak) melalui Gakkum beberapa waktu lalu, dan menemukan drum biru yang disebut digunakan untuk pengumpulan oli bekas.
“Benar-benar tidak boleh ada aktivitas usaha, kalau mau seperti itu lagi, saya keluarkan lagi sanksinya, berarti tidak ada niat untuk pemenuhan. Drum biru saat sidak Gakkum untuk oli yang sudah dikumpulkan untuk dibersihkan katanya, kalau memang itu niatnya dipenuhi untuk membersihkan ya mangga, yang penting tidak ada aktivitas (usaha),” tandasnya.
Terpisah, Koordinator Saung Hijau Indonesia (SAHID), Ridho Ali Murtado, menegaskan bahwa ketika akan mendirikan sebuah usaha, tentu harus menuruti prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam hal PT RGM, Ridho mempertanyakan izin yang digunakan oleh perusahaan tersebut apakah hanya mengumpulkan saja atau mengelola limbah oli.
“Namanya menjalankan usaha ya harus menuruti prosedur karena izinnya kan sudah ada. Izinnya kan hanya pengumpulan, kenapa ada tindakan pengelolaan bahkan pengolahan seperti pembakaran,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa perusahaan tersebut sudah ngeyel. Hal itu ia lontarkan karena menurutnya PT RGM jika dilihat dari sisi perusahaan, apabila ingin melanjutkan usahanya, maka harus mau mengikuti alur yang sudah diarahkan oleh DLH.
“Disisi lain, kalau memang pihak RGM tidak nurut lagi, tidak bisa diatur dengan aturan yang ada, jangan diambil pusing tinggal izinnya dicabut oleh pihak DLH,” ucapnya.
Ridho menegaskan, karena sudah terjadi pengolahan, maka lahan harus dikembalikan seperti semula. Sebab, khususnya limbah oli yang masuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lalu kemudian dibakar, selain menimbulkan pencemaran udara, juga menimbulkan pencemaran lahan.
“Yang saya pertanyakan juga terkait dengan izinnya. Setahu saya, izin untuk mendirikan suatu perusahaan yang mengelola atau mengolah limbah B3 itu tidak sembarangan, yang mengeluarkan izin adalah kementrian dan di Indonesia hanya ada dua atau tiga perusahaan yang izinnya lengkap untuk mengeola limbah B3,” tuturnya.
Akibat pembakaran limbah oli itu juga diketahui menjadikan lahan yang digunakan untuk membakar itu terindikasi tercemar. Menurut Ridho, karena kalau sudah masuk ke pencemaran tanah, sudah dipastikan akan masuk ke pencemaran sumber air yang ada di sekitar lingkungan perusahaan.
“Saya baru tahu juga kalau di kota serang ada perusahaan yang menampung limbah oli yang merupakan masuk ke kategori limbah B3, bahkan sampai melakukan pembakaran. Ini sangat merugikan masyarakat sekitar yang langsung berhadapan dengan pencemaran udaranya dan juga pencemaran lingkungan yang lain seperti pencemaran tanah,” terangnya.
Ia pun menegaskan kepada DLHK Provinsi Banten agar tidak ragu memberikan sanksi yang tegas terhadap perusahaan yang ngeyel dan keluar dari aturan perizinan yang sudah ditentukan. Sebab, hal itu akan merugikan banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sekitar yang tentunya merasakan dampak negatif dari perusahaan ngeyel.
“Kasusnya PT RGM ini kan sudah disanksi oleh pihak DLH Provinsi, tapi masih ada indikasi melakukan pengolahan limbah B3. Kalau memang dalam izinnya tidak boleh ada pengolahan, ya tidak boleh dan kalau memang sudah ngeyel ya tinggal cabut saja izinnya, DLH juga harus tegas,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan, meskipun saat perusahaan itu berdiri dan lahan sekitar masih belum ada permukiman, namun dalam proses pengajuan izin menampung limbah juga harus memperhatikan RTRW. Karena terbukti saat ini, wilayah sekitar perusahaan saat ini adalah lingkungan padat, sehingga izin yang sebelumnya sudah dimiliki, tentu perlu ditinjau kembali.
“Walaupun dulu katanya lahan kanan kiri masih kosong dan masih sawah, seharusnya kalau mau mengajukan izin penampungan limbah itu dilihat dulu RTRW nya. Apakah daerah tersebut peruntukannya sebagai Kawasan industri, lingkungan, persawahan atau apa, masa iya izin dari Kementrian tidak mendetil,” tandasnya. (MUF/ENK)
Tinggalkan Balasan