KORSEL, BANPOS – Hallyu atau fenomena gelombang kebudayaan Korea Selatan (Korsel) atau demam Korea, kini begitu mengglobal.
Aneka drakor alias drama Korea seperti “Winter Sonata” (2002) dan “Crash Landing on You” (2019), kini akrab dalam keseharian masyarakat dunia. Begitu pula bintang K-pop seperti BTS dan Blackpink.
Nama-nama itu kini sama populernya dengan Samsung, merk HP Korsel yang begitu mendunia.
Tahun 2019, Korsel mengejutkan dunia lewat panggung Academy Awards. “Parasite” terpilih menjadi film berbahasa asing pertama, yang meraih predikat Best Picture.
Itu belum termasuk kesuksesan “Squid Game”. Serial TV yang paling banyak ditonton di Netflix, per November 2021, ini tak hanya menjadi yang terlaris di 94 negara, tetapi juga menjadi magnet bagi lebih dari 142 juta rumah tangga pemirsa Netflix.
Dalam empat minggu pertama sejak diluncurkan, publik menghabiskan waktu 1,65 miliar jam hanya untuk menonton “Squid Game”.
Tak heran, majalah berita mingguan Inggris “The Economist” pun menyebut budaya pop Korsel sebagai trendsetter Asia terkemuka.
Terkait hal tersebut, Pakar Hubungan Internasional dari Korea University, Andrew Eungi Kim mengatakan, output budaya Korsel memang masih belum seberapa, bila dibanding dengan ekspor utama seperti semikonduktor. Tapi pengaruhnya, luar biasa.
“Saat ini, Korsel adalah negara pengekspor budaya terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang,” kata Andrew dalam Workshop ke-6 Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea Batch 2, yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation secara hybrid, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada lima faktor di balik kesuksesan hallyu yang mendunia.
Pertama, hard power berupa kompetensi. Dalam konteks ini, kesuksesan hallyu kerap dikaitkan dengan pesatnya keberhasilan ekonomi Korsel.
“Kesuksesan ekonomi ini memudahkan para pengusaha Korsel, untuk menciptakan produk budaya yang berkualitas tinggi, menarik, serta mewah dan gaya. Di samping mampu menerapkan strategi pemasaran yang sangat efisien,” jelas Andrew.
“Sehingga bisa dibilang, hallyu tak hanya menjadi produk budaya, tetapi juga merupakan suatu fenomena ekonomi atau industri,” imbuhnya.
Kedua, soft power. Korsel percaya, kemakmuran ekonomi bisa menjadi daya tarik.
Dalam upaya menguasai dunia, soft power mengacu pada kekuatan tak berwujud, yang mengacu pada image negara yang baik. Tak mengandalkan hard power seperti militer atau kekuatan ekonomi.
Citra AS sebagai negara kaya, terbukti memainkan peran yang sangat penting, dalam mempromosikan produk-produk Negeri Paman Sam seperti jeans Levi’s, iPhone Apple, rokok Marlboro, minuman ringan CocaCola, serta film hip-hop dan Hollywood. Juga musik bergenre rock, blues, dan jazz.
Konsep soft power juga terkait erat dengan popularitas merek-merek kondang seperti Louis Vuitton, Chanel, Prada, Gucci, Burberry, Hugo Boss, Giorgio Armani, Bulgari, Hermes, dan sebagainya.
“Memang, ada korelasi langsung antara kekuatan ekonomi suatu bangsa, tingginya standar hidup, dan kemampuan suatu negara dalam menyebarkan budayanya. Termasuk, unsur bahasa, seni dan bahkan agama. Ini sudah dibuktikan oleh negara Barat, terutama AS,” terang Andrew.
Faktanya, berdasarkan data Produk Domestik Brutto (GDP) 2019, Korsel menempati peringkat keempat ekonomi terbesar di Asia dengan angka 1,64 triliun dolar AS atau Rp 25,61 kuadriliun. Setara 1,87 persen dari total global.
Di bawah China dengan 14,34 triliun dolar AS atau Rp 223,97 kuadriliun (16,34 persen), Jepang 5,08 triliun dolar AS atau Rp 79,34 kuadriliun (5,79 persen), dan India 2,88 triliun dolar AS atau Rp 44,95 kuadriliun (3,28 persen).
Tertinggi dunia, masih dirajai AS dengan angka 21,43 triliun dolar AS atau Rp 334,50 kuadriliun (24,42 persen).
Secara global, Korsel adalah negara ekonomi terbesar ke-10 di dunia. Nama-nama seperti Samsung, LG, dan Hyundai tak asing lagi di telinga warga dunia.
“Secara bertahap, dunia mengasosiasikan Korsel dengan kemakmuran dan standar hidup yang tinggi. Inilah yang antara lain membuat orang tertarik pada hal-hal berbau Korsel,” tegas Andrew.
Keempat, dukungan pemerintah. Tahun 1994, Presiden Korsel menerima laporan yang merekomendasikan untuk menguatkan produksi media sebagai bagian dari industri strategis nasional.
Rekomendasi ini dilatarbelakangi oleh catatan pendapatan keseluruhan AS dari film Jurassic Park yang diproduksi Hollywood. Nilainya setara dengan penjualan 1,5 juta unit mobil Hyundai.
Analogi perbandingan film dengan mobil Hyundai – yang pada waktu itu dianggap sebagai kebanggaan Korea – dinilai cukup tepat untuk menyadarkan para pemangku kebijakan Korsel dan masyarakat. Agar menguatkan gagasan budaya sebagai industri.
“Pemerintah kami sangat percaya, bahwa antusiasme masyarakat dunia terhadap budaya popular Korsel, dapat menguntungkan sektor ekspor dan diplomasi soft power,” ujar Andrew.
Inilah yang akhirnya melatarbelakangi pemerintah Korsel, untuk meluncurkan sebuah lembaga yang bertugas mengawasi dan mengkoordinasikan promosi industri konten Korsel. Serta mempromosikan ekspor budaya pada tahun 2000, melalui Pusat Promosi Industri Budaya.
Tahun 2009, lembaga ini berganti nama menjadi Badan Konten Kreatif Korea (KOCCA).
Total anggaran Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata yang dialokasikan untuk KOCCA pada tahun ini, dilaporkan telah melampaui angka 7 triliun won atau Rp 84,63 triliun. Tertinggi dalam sejarah.
Keempat, peran agen K-pop. Agensi hiburan K-pop dikenal ahli memoles kemasan dan menghasilkan produk-produk terbaik. Sementara perusahaan K-Pop melatih artis, memproduksi dan mempromosikan karya musik, serta mengelolanya.
Karakteristik umumnya, perusahaan K-pop beroperasi sebagai konglomerat hiburan.
Mereka mengelola label rekaman; menjadi agen bakat dengan perekrut dan pelatih handal; perusahaan produksi musik dengan penulis lagu, musisi, penata suara, dan produser; perusahaan event; perusahaan konser; dan rumah produksi musik.
Kelima, fandom factor alias basis penggemar yang berdedikasi.
K-Pop fans club memiliki peran yang unik. Mereka tak hanya aktif mempublikasikan berita tentang lagu terbaru dan konser grup idola mereka, tetapi juga menerjemahkan lirik lagu Korsel dalam bahasa Inggris dan lainnya.
Selain itu, mereka juga berulang kali mendengarkan lagu untuk meningkatkan semangat, serta mendongkrak statistik band di YouTube dan situs streaming musik.
Fandom factor ini terbukti mampu menjadikan lagu “Butter” BTS memegang rekor viewers YouTube terbanyak, dalam tempo 24 jam pertama setelah rilis (108,2 juta viewers pada 21-22 Mei 2021).
Fans juga getol membeli CD grup idola mereka dan aneka merchandise terkait lainnya.(RM.ID)
Tinggalkan Balasan