SERANG, BANPOS – Iklim demokrasi di Provinsi Banten sampai saat ini masih dinilai lemah. Selain dilihat dari indikator, pelaksanaan demokrasi baik dari segi partisipasi publik dalam pembangunan maupun kebebasan mengemukakan pendapat pun dianggap masih buruk.
Deputi Direktur Pusat Studi dan Informasi Regional (Pattiro) Banten, Amin Rohani, mengatakan bahwa indeks demokrasi di Banten pada tahun 2021 masuk dalam kategori sedang, yaitu sebesar 75,93 dan berada di posisi 18 secara nasional.
“Secara dimensi, aspek kapasitas lembaga demokrasi berada di posisi paling rendah dengan nilai 66,65. Secara indikator, tercatat beberapa indikator yang masih sangat lemah seperti kinerja lembaga legislatif yang hanya sebesar 28,57,” ujarnya, Selasa (10/1).
Selain itu, terdapat indikator lainnya yakni terjaminnya kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi, berpendapat, dan berkeyakinan dalam setiap kebijakan sebesar 33,33. Lalu, indikator anti monopoli sumber daya ekonomi pun hanya 63,5.
“Angka ini menunjukkan bahwa demokrasi di Banten masih semu,” tutur Amin.
Selain itu, Amin mengatakan bahwa ruang partisipasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) masih belum maksimal. Hal itu terlihat dari masih rendahnya kolaborasi OMS dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.
“Dalam perencanaan, ruang OMS masih terbatas untuk mengikuti musyawarah perencanaan pembangunan,” katanya.
Sedangkan dalam pelaksanaan, Amin menuturkan bahwa berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), tercatat bahwa tidak ada anggaran bagi swakelola tipe III pada tahun 2022.
“Hal ini menunjukkan bahwa implementasi Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang didalamnya mengatur partisipasi LSM/OMS/Ormas dalam bentuk Swakelola Tipe III, yang tidak diterapkan,” terangnya.
Terpisah, Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa Provinsi Banten sebagai bagian dari Negara Indonesia, memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak warganya untuk berpendapat dan berekspresi, sebagaimana amanat Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
“Itulah yang dicita-citakan bagi negara demokrasi. Namun saya menilai demokrasi di Banten ini sangat buruk, karena aspirasi yang dikeluarkan oleh masyarakat ataupun mahasiswa dan buruh hanya didengar lewat kaca gedung pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, hal itu menggambarkan bahwa pemerintahan, khususnya Pemprov Banten, anti kritik dan enggan menerima masukan dari masyarakat, khususnya mereka yang menyampaikan aspirasi melalui unjuk rasa.
“Saya sangat ingin sekali melihat Gubernur Banten menemui masyarakat dan mahasiswa ketika menyampaikan aspirasinya, bahkan sangat jarang atau bahkan tidak pernah menemui masyarakatnya sendiri ketika menyampaikan pendapat di depan kantornya,” tutur dia.
Salah satu catatan buruk bagi demokrasi di Provinsi Banten ialah pembungkaman yang dilakukan terhadap salah satu guru yang pada saat itu merupakan calon pengawas, yang menyampaikan keluh kesahnya melalui siniar Banten Podcast.
“Apalagi ketika melihat seorang guru yang menyampaikan aspirasinya di media sosial malah disomasi oleh pihak tertentu karena mengkritik atas sikap Gubernur Banten, itu sangat miris sekali. Padahal dia hanya menyampaikan keluh kesahnya kepada gubernurnya sendiri, apakah itu dilarang,” tegasnya.
Ega menuturkan bahwa kritik terhadap pemerintahan dari masyarakat, sudah pasti sifatnya membangun. Kritik itu dilakukan karena masyarakat menilai ada yang salah terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga seharusnya, pemerintah mendengar dan merespon atas kritik itu.
“Jangan sampai kita menyampaikan kritik dan katanya dilindungi, akan tetapi nyawa kita terancam atau bahkan berpotensi dijebloskan ke penjara. Ini yang membuat masyarakat trauma ketika menyampaikan keluh kesahnya kepada pemerintah,” tandasnya.(DZH/PBN)
Tinggalkan Balasan