JAKARTA, BANPOS – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana memberikan klarifikasi terkait pemberitaan beberapa media tentang adanya praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Klarifikasi ini tujukan untuk pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan restorative justice demi penegakan hukum humanis tidak tercoreng dengan pemberitaan minor dan tendensius walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada Kejaksaan.
Ketut menerangkan, penerapan restorative justice berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik. Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c. Pasal itu berbunyi, “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.
Selanjutnya, terang Ketut, ditegaskan kembali dalam Pasal 34A. Bunyinya “untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan/atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik”.
“Dalam penerapan keadilan restoratif oleh Kejaksaan, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban/keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana,” terang Ketut, seperti keterangan yang diterima RM.id, Rabu (18/1).
Dia menerangkan, penerapan restorative justice dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Pertama, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis). Kedua, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp 2.500.000. “Keempat dan yang paling penting, tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat,” terangnya.
Dari persyaratan tersebut, lanjutnya, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat.
Ketut menyatakan, Kejaksaan sangat apresiasi terhadap kritik dan saran pelaksanaan keadilan restoratif di setiap daerah dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan terhadap pelaksanaan keadilan restoratif di daerah.
“Untuk itu, kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan, dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan. Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan,” ucap Ketut.
Sebab, lanjut Ketut penegakan hukum humanis yang ditunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan. Penerapan restorative justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta dampaknya sangat luar biasa di masyarakat yakni dapat mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.
“Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis,” tutupnya.(RMID)
Tinggalkan Balasan