JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator, Industri, dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel menegaskan pentingnya investasi dan perdagangan. Khususnya dari dan dengan pihak asing.
Namun, dia memberi catatan penting terhadap hal tersebut.
“Ekonomi, termasuk investasi dan perdagangan, tidak boleh merusak budaya dan tata nilai bangsa,” tegas Gobel, dalam dialog dengan para guru secara daring dan luring di Pare, Kediri, Jawa Timur, Minggu (29/1).
Acara bertajuk Silaturahmi Besar Pendidikan Cokroaminoto yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) juga dihadiri Dosen Unpad sekaligus aktivis SI Prof. Dr. Endang Caturwati.
Syarikat Islam yang awalnya bernama Syarekat Dagang Islam, didirikan Haji Samanhudi. Namanya berubah menjadi SI di masa HOS Tjokroaminoto.
Acara itu mengambil tema Gerakan Perubahan Indonesia Berbasis Pendidikan, Budaya, dan Ekonomi.
Salah satu contoh ekonomi yang merusak budaya dan tata nilai bangsa adalah impor pakaian bekas dan impor tekstil bermotif batik.
Karena itu, saat menjadi Menteri Perdagangan, Gobel melarang impor barang-barang tersebut.
Menurutnya, pakaian bekas tak hanya mematikan industri garmen kecil. Tetapi juga menunjukkan bangsa yang tak memiliki kehormatan dan harga diri. Sementara impor tekstil bermotif batik, akan mematikan kerajinan batik.
“Industri garmen dan kerajinan batik adalah produk budaya. Di sana ada nilai-nilai, ada kreativitas, ada intelektualitas, yang merupakan warisan leluhur kita,” papar Gobel.
“Jika kita biarkan impor tekstil bermotif batik, lama-lama kerajinan batik akan mati. Akhirnya, di suatu masa dalam beberapa generasi, kita tak mengenal lagi batik. Karena semuanya sudah impor,” imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gobel juga mengingatkan pentingnya ekonomi berbasis budaya.
Menurutnya, ada empat keunggulan ekonomi berbasis budaya. Pertama, bahan bakunya dominan lokal. Kedua, umumnya ada di desa. Ketiga, skalanya UMKM. Keempat, bersifat khas.
“Jadi, ekonomi berbasis budaya akan memperkuat NKRI. Bukan sekadar uang,” katanya.
Produk-produk ekonomi berbasis budaya antara lain meliputi tekstil tradisional, mebel, handicraft, ukiran, anyaman, kuliner, dan lain-lain.
Gobel juga menyoroti fenomena investasi asing, yang selalu membawa serta budayanya. Dia bilang, itu tak hanya melekat pada produknya. Tetapi juga karena akan membawa serta manusianya.
“Karena orangnya datang, maka akan hadir juga kulinernya, lalu perilakunya, dan seterusnya. Tentu, tak semuanya negatif. Banyak juga hal yang positif. Hanya saja, kita perlu awas tentang pentingnya ketahanan budaya,” katanya.
Menurutnya, di era globalisasi ini, budaya bangsa makin memiliki kedudukan yang sangat penting.
Gobel mengatakan, era globalisasi adalah era batas-batas suatu negara menjadi makin imajiner. Lalu-lintas barang dan manusia, makin tak memiliki sekat.
Suatu bangsa, katanya, akan semakin majemuk.
“Ras dan etnik bukan menjadi pembeda suatu bangsa. Yang membedakan satu bangsa dengan bangsa lain adalah budayanya. Etnik dan ras bisa saja sama. Karena itu, budaya nasional harus terus diperkuat dan menjadi keunggulan suatu bangsa,” papar Gobel.
Dalam konteks tersebut, pendidikan menjadi faktor signifikan dalam memelihara budaya bangsa.
Bukan hanya dalam pendidikan formal di sekolah-sekolah, tetapi juga pendidikan di perusahaan.
“Perusahaan bukan hanya jadi tempat mencari uang, tetapi juga tempat persemaian budaya bangsa dan tempat pengabdian diri pada bangsa dan negara. Karena itu, di perusahaan saya: Panasonic Gobel, setiap tanggal 17 ada upacara bendera. Ini dimulai sejak almarhum Thayeb M Gobel selaku pendiri, dan sudah menjadi budaya hingga kini,” beber Gobel.
Dia juga mengkritik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset & Teknologi yang kurang memberi perhatian masalah budaya ini. Apalagi, dengan informasi dihapuskannya Direktorat Kesenian dan Direktorat Sejarah.
Gobel mengingatkan, kualitas pembangunan sumberdaya manusia adalah kunci dalam memasuki peradaban unggul dan maju.
“Itu paling basic dan paling penting. Kita harus memahami filosofi people before product. Membuat produk itu tidak sulit. Yang pertama dan utama adalah membangun manusianya. Dari manusia berkualitas dan berkarakter, akan lahir produk yang berkualitas dan berkarakter pula,” papar Gobel.
“Karena itu, kemajuan dan keunggulan seseorang atau suatu bangsa bukan tentang uang dan materi. Tetapi tentang kualitas sumber daya manusia. Nasionalisme di era global ini harus memiliki makna baru,” imbuhnya.(RMID)
Tinggalkan Balasan