HARI Pers Nasional (HPN) tahun 2023 mengangkat tema Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat. Tema tersebut diangkat mengacu pada cita-cita iklim pers yang merdeka sembari menyongsong tahun politik 2024. Pers Merdeka tentunya menjadi satu hal yang sangat disorot. Frasa itu diharap bukan hanya sebagai formalitas tema seremonial HPN saja, melainkan benar-benar dapat dipraktikkan di dunia nyata.
Mengacu pada Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, dalam lima tahun terakhir terjadi tren peningkatan IKP secara nasional. Tahun 2022, IKP nasional berada di angka 77,88 poin. Nilai itu meningkat sebesar 1,86 poin daripada IKP tahun 2021.
Meski meningkat secara kumulatif, terdapat dua indikator yang mengalami penurunan. Keduanya yakni indikator kebebasan media alternatif dan kebebasan mempraktikkan jurnalisme, yang mengalami penurunan masing-masing turun -2,05 poin dan -0,08 poin. Selain itu, peningkatan IKP di tahun 2022 pun tetap meninggalkan catatan adanya kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pers yang masih saja terjadi di beberapa daerah.
Untuk Provinsi Banten, berdasarkan penilaian kumulatif pada laporan IKP 2022, menempati posisi empat terendah IKP. Provinsi Banten tercatat mendapatkan nilai IKP sebesar 74,50 poin. Nilai tersebut berada di bawah IKP nasional, dengan selisih angka 3,38 poin. Nilai IKP Provinsi Banten di tahun 2022 pun mengalami penurunan sebesar 0,44 persen dari tahun sebelumnya yang memiliki nilai 74,94 poin.
Dalam penilaian IKP, terdapat tiga indikator lingkungan bidang, yakni fisik dan politik, ekonomi dan hukum. Lingkungan bidang fisik dan politik terdiri atas sejumlah hal seperti kebebasan berserikat bagi wartawan, kebebasan dari intervensi, kebebasan dari kekerasan hingga kesetaraan akses bagi kelompok rentan.
Untuk lingkungan bidang ekonomi diantaranya berkaitan dengan independensi dari kelompok kepentingan yang kuat, keragaman kepemilikan hingga tata kelola perusahaan yang baik. Sementara lingkungan bidang hukum diantaranya terkait dengan independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan, kebebasan mempraktikkan jurnalisme hingga kriminalisasi dan intimidasi pers.
Dari tiga indikator lingkungan bidang tersebut, Provinsi Banten tercatat berada pada posisi 30 untuk bidang lingkungan hukum dan 31 pada lingkungan bidang fisik dan politik, dengan masing-masing nilai 72,63 poin dan 75,5 poin. Peringkat yang cukup baik didapatkan oleh Provinsi Banten pada bidang ekonomi dengan menempati peringkat 27 dengan poin sebesar 74,42.
Berfokus pada bidang hukum serta bidang fisik dan politik, mengacu pada Catatan Akhir Tahun 2022 Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), pers sampai saat ini masih berada di bawah ancaman kekerasan, kriminalisasi dan pembungkaman.
Pada tahun 2022, tercatat cukup banyak serangan digital terhadap media-media siber di Indonesia. Salah satunya serangan kepada situs Narasi. Selain serangan DDoS kepada situsnya, serangan juga terjadi kepada akun media sosial personel Narasi TV. Serangan serupa juga dialami oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim. Media sosial dan WhatsApp miliknya diretas dan digunakan untuk mempublikasikan hal-hal hoaks.
Selain serangan siber, ‘serangan’ terhadap pers melalui jalur hukum pun terjadi di Makassar, dimana enam media Makassar mendapat gugatan perdata oleh seseorang, hingga menuntut ganti rugi sebesar Rp100 triliun. Gugatan tersebut diklaim lantaran pemberitaan yang dilakukan oleh enam media itu, telah merugikan si penuntut, padahal upaya klarifikasi sudah dilakukan oleh media-media itu. Pengadilan memutus gugatan tidak dapat diterima, karena mekanismenya tidak sesuai dengan Undang-undang Pers.
Selain itu, jurnalis Sultra Raya, Muhammad Irvan S, juga terkena kriminalisasi menggunakan pasal karet pada Undang-undang ITE. Irvan dikriminalisasi menggunakan Undang-undang ITE setelah memberitakan dugaan pengapalan ilegal seseorang. Meski sudah menempuh jalur Dewan Pers, pihak yang diberitakan tidak puas dan membawa persoalan itu ke ranah pidana.
Padahal menurut laporan KKJ, penggunaan Pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik) UU ITE Jo Pasal 45 ayat (3) tidak bisa dikenakan pada karya jurnalistik yang memuat kepentingan publik. Selain itu, penyidikan terhadap dua kasus di atas juga melanggar isi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Dalam Pedoman SKB tersebut telah disebutkan, bahwa karya jurnalistik dikecualikan dalam pengenaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi: Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Akademisi Untirta sekaligus praktisi jurnalistik, Ikhsan Ahmad, menjadi salah satu contoh korban pembredelan pers di Provinsi Banten. Ikhsan dibungkam lantaran mengangkat sesi wawancara dengan salah satu calon pengawas sekolah pada saat itu, melalui kanal YouTube Banten Podcast. Karena hal tersebut, Ikhsan dilaporkan ke Polda Banten karena dituding melanggar Pasal 32 ayat 2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang ITE.
Kepada BANPOS, Ikhsan lebih berfokus bagaimana mewujudkan kemerdekaan pers yang sebenarnya. Ia mengatakan bahwa dirinya mengartikan kemerdekaan bukan sebagai kebebasan. Namun, berangkat dari definisi kemerdekaan atas penjajah, maka kemerdekaan yang ia yakini dalam hal dunia pers, adalah penyelenggaraan pers yang diperuntukkan untuk masyarakat, termasuk dalam pengawalan pembangunan dan penyaluran aspirasi dan kepentingan masyarakat.
“Kalau bebas itu kan tidak ada batasan,” ujarnya saat diwawancara BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (9/20.
Menurutnya, kemerdekaan pers di Banten pun belum terealisasi. Sebab, penyelenggaraan persnya belum sepenuhnya mengarah pada upaya membangun kepentingan masyarakat. Namun menurutnya, hal itu bukan karena insan pers yang tidak berupaya untuk mengarah ke sana, namun karena sistem feodal pemerintahan, yang menjadi batasan tersendiri bagi insan pers untuk bertindak merdeka.
“Karena feodalisme dalam penyelenggaraan pemerintah bisa menjadi hambatan-hambatan terhadap kerja-kerja pers untuk menyampaikan informasi yang objektif dan akurat. Kemudian tidak dipungkiri juga bahwa ada pers yang memang berorientasi pada transaksi dan kekuasaan,” tutur Ikhsan.
Ikhsan menegaskan bahwa pers pun harus independen. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers pun harus menjadi second opinion atas informasi-informasi yang disampaikan pemerintah, yang mungkin saja terdapat hal-hal yang ‘tersendat’.
“Untuk ke depan, walaupun sulit untuk diwujudkan, pers harus independen. Kemudian menjadi jembatan komunikasi pemerintah dengan masyarakat, menjadi ujung tombak perjuangan masyarakat. Dan yang terpenting adalah pers mengedepankan informasi-informasi yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, atau dianggap tersendat dalam pemerintahan sehingga diketahui oleh masyarakat,” ucapnya.
Menurut laporan, KKJ juga menilai bahwa KUHP yang baru menjadi salah satu potensi ancaman bagi pers di masa yang akan datang. Pasalnya, terdapat sejumlah pasal yang ada pada KUHP, yang dapat menjadi alat membredel kemerdekaan pers.
Adapun pasal-pasal tersebut yakni Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
Selanjutnya, Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap, Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan, Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan, Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran, Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati, dan Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten, Rian Nopandra, mengatakan bahwa PWI sebagai konstituen pada Dewan pers, menegaskan bahwa KUHP yang baru memang menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers. Menurutnya, KUHP itu akan meningkatkan potensi jurnalis dipenjara karena produk jurnalistik, bahkan dengan ancaman hingga enam tahun penjara.
Ia pun mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis, Dewan Pers telah menandatangani nota kesepahaman bersama dengan Mabes Polri, guna melindungi jurnalis dari ancaman pidana akibat sengketa jurnalistik.
“Dan ini juga didorong ke daerah bahwa ketika itu produk jurnalistik, maka kewenangannya di Dewan Pers. Tapi kalau sudah bukan produk jurnalistik, baru pidana ke pihak Kepolisian. Hal ini juga menjadi salah satu antisipasi untuk menghadapi KUHP terbaru,” ujarnya yang saat ini tengah berada di Medan dalam rangka perayaan Hari Pers Nasional.
Pria yang akrab disapa Opan ini juga menuturkan bahwa nota kesepahaman itu pun untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, terjadi kepada jurnalis. Apalagi di lapangan, jurnalis akan sering bersinggungan dengan permasalahan, yang juga membuat jurnalis semakin tinggi potensi bersinggungan dengan Aparat Penegak Hukum.
“Makanya rencananya kita dari PWI Banten akan melakukan audiensi dengan Kapolda, karena kita harus penegasan itu bahwa PWI punya tugas sebagai salah satu konstituen Dewan Pers, untuk mensosialisasikan MoU itu. Intinya untuk menjaga teman-teman juga di lapangan,” ucapnya.
Sementara terkait dengan kondisi pers di Provinsi Banten, Opan menuturkan bahwa saat ini dalam kondisi yang tidak baik, seperti halnya yang terjadi secara nasional. Hal itu merujuk pada ‘peperangan’ yang harus dilakukan oleh pers, dalam melawan informasi-informasi hoaks dan sesat.
“Harapannya bagaimana media sebagai arus utama informasi, terutama media mainstream itu menjadi semacam rumah penjernih untuk informasi-informasi yang bersifat hoaks. Kemudian media mainstream maupun media arus utama diminta untuk menyajikan berita yang sudah terverifikasi,” tuturnya.
Ia mengatakan, persoalan hoaks memang menjadi tantangan tersendiri di era digital dan bebas seperti saat ini. Orang-orang dapat dengan mudahnya mengunggah informasi ke media sosial, tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu. “Maka sekarang media mainstream dan media arus utama yang harus mengambil peranan itu,” katanya.
Ia pun berharap, pers saat ini dapat lebih kreatif, terutama dalam memaksimalkan teknologi, agar tidak terlalu berketergantungan dengan anggaran pemerintah. Dengan kreativitas tersebut, insan pers dapat menciptakan konten yang bisa menjadi penopang keuangan perusahaan.
“Manfaatkanlah kemajuan media diimbangi dengan kecanggihan teknologi yang sekarang, bagaimana media itu harus bisa menyajikan berita dalam multiplatform. Jadi tidak hanya cetak saja, ada online, radio, video dan lainnya,” tegas dia.
Sementara Ketua Umum SMSI, Firdaus, saat dikonfirmasi terkait dengan iklim pers di Provinsi Banten, mengaku sudah terjadi peningkatan. Bahkan, kekerasan terhadap pers pun sudah sangat jarang terdengar, karena kesadaran masyarakat akan peran pers sudah membaik.
“Kesadaran masyarakat Banten dalam memahami fungsi media semakin baik. Di tiga tahun terahir ini, tidak ada laporan kekerasan terhadap masyarakat pers. Kalaupun ada, beberapa waktu yang lalu di Tangerang ada rumor kekerasan terhadap pers, hal tersebut hingga kini belum terkonfirmasi,” tandasnya.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan