Rektor Untirta ‘Nyap-nyap’ di Momentum HPN, Bantah ‘Menghilang’, Sebut Berita Orderan untuk Menganiaya

DALAM momentum perayaan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Rektor Untirta, Fatah Sulaiman, ‘nyap-nyap’ terkait dengan pemberitaan dirinya pada saat menjadi saksi perkara suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) Universitas Lampung (Unila) dengan terdakwa Karomani.

Fatah tidak terima diberitakan seolah-olah bersalah dalam hal titip mahasiswa ke Fakultas Kedokteran Unila, hingga menyebut media yang memberitakan tidak presisi. Ia pun merasa dihakimi seolah-olah sudah menjadi terdakwa dalam perkara titip menitip mahasiswa Unila tersebut.

Menurutnya, berita yang telah tayang berkaitan dengan persidangan, sangat berbeda jauh dengan yang terjadi pada saat persidangan berlangsung. Ia bahkan sampai mengecap berita-berita yang dinilainya tendensius terhadap dirinya itu, sebagai berita orderan untuk sengaja menganiaya dirinya.

Hal itu diungkapkan oleh Fatah pada saat memberikan sambutan kegiatan Coffee Morning antara awak media dengan jajaran pimpinan Untirta, dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional pada Kamis (9/2) pagi. Hadir dalam kegiatan itu, para pimpinan Rektorat Untirta, kecuali Wakil Rektor III, pejabat di lingkungan Untirta dan sejumlah media yang disebut sebagai mitra Untirta. Kegiatan itu juga disiarkan langsung melalui kanal YouTube Untirta Official.

Dalam sambutannya, Fatah mengatakan bahwa pers maupun akademisi merupakan manusia, yang merupakan tempatnya salah dan lupa. Sehingga, saling mengingatkan antara satu dengan yang lainnya merupakan sebuah keharusan.

“Maka tentu karena ini kaitan erat dengan program-program kita, kami mohon juga insan pers untuk profesional, presisi dan akurat dalam melakukan pemberitaan. Maka insyaallah ini karena bagian dari keluarga, apalagi pers adalah pilar demokrasi, ini menjadi sesuatu yang penting untuk kita sepakati dalam pemberitaan,” ujar Fatah.

Menurutnya, hal itu diungkapkan olehnya lantaran adanya pemberitaan dari BANPOS Edisi Kamis 9 Februari 2023, meskipun tidak disebutkan secara langsung, yang berjudul ‘Rektor Untirta ‘Menghilang’, Terkait Nepotisme Unila’. Berita tersebut berdasarkan upaya konfirmasi dari BANPOS, yang menemui jalan buntu lantaran informasi keberadaan Rektor Untirta tidak jelas hingga pukul 17.00 WIB.

“Sebagai contoh misalkan, saya kemarin Alhamdulillah hadir dari pagi di sini, rapat koordinasi dengan DJP keuangan, rapat koordinasi dengan bidang akademik, kemudian rapat koordinasi dengan berbagai unsur lembaga, menandatangani ijazah sampai jam 5. Tapi saya kaget baca berita hari ini, Rektor Untirta hilang. Kan bingung ya,” tuturnya.

Dalam kesempatan sambutan itu, Fatah juga menjabarkan kisahnya saat memberikan keterangan sebagai saksi terhadap terdakwa Karomani, di PN Tanjungkarang, Bandarlampung. Keterangan tersebut dijabarkan oleh BANPOS secara terpisah.

Usai menjabarkan kisahnya saat bersaksi di persidangan, Fatah mengaku baru diizinkan pulang cukup malam. Ia saat hendak menyeberangi Selat Sunda, menghadapi ombak yang cukup tinggi, sehingga harus bersandar terlebih dahulu. Pada saat itu, ia mendapatkan tautan berita online persidangan dirinya, yang dia nilai berbeda antara bumi dan langit. Berita itu sudah tersebar di grup-grup Untirta.

“Korannya besok saat ke kantor, ada koran, dari perspektif atau sudut pandang si wartawan, oknum lah saya sebut, saya yakin kalau institusinya enggak demikian, karena ingin presisi, bermartabat dan demokratis. Nah ini bagian dari koreksi apa yang, mungkin yang lain banyak,” katanya merujuk pada pemberitaan BANPOS.

Ia mengatakan, dampak dari pemberitaan itu sangat luar biasa. Rekan-rekan dirinya banyak yang menelepon, termasuk yang berada di Australia. Ia pun menjelaskan bahwa isi dari berita, tidak sesuai dengan apa yang berlangsung dalam persidangan. Ia juga merasa ‘divonis jalanan’ oleh pers.

“Jadi jangan saksi ini divonis jalanan oleh pers, ini kan seperti vonis jalanan. Saya ini taat asas, ikuti proses. Sebagai pimpinan perguruan tinggi, memberikan contoh teladan buat semua. Masalah nanti risikonya apapun siap saya hadapi urusan dunia ini. Enggak ada takut saya, saya ceritakan apa adanya,” jelasnya.

Menurut dia, kekagetannya juga tidak berhenti saat berita terkait dengan ‘Rektor Untirta Menghilang’ nongol di ruang kerjanya. Padahal menurut dia, pada hari yang sama BANPOS mencoba mengonfirmasi, dirinya ada di kampus hingga pukul 17.30 WIB. Lebih setengah jam dari klaim dirinya di awal sambutan.

“Sekarang berita nongol lagi, Rektor Untirta menghilang, nepotisme, saya kemarin sampai setengah enam di sini. Banyak agenda rapat, online dengan keuangan, dengan WR I, dengan ketua lembaga, sampai sore. Gak ada insan pers,” katanya.

Di pertengahan, ia mengucapkan terima kasih kepada Humas Untirta dan Wakil Rektor IV, yang telah menginisiasi pelaksanaan Coffee Morning bersama dengan insan pers tersebut. Menurutnya, pers memang harus merdeka, tapi jangan sampai bebas seenaknya dalam mengartikan merdeka. “Harus yang bermartabat tadi, demokratis, tentu ini sebagai kecintaan saya kepada dunia pers,” ucapnya.

Menurut Fatah, awak media jangan sampai hanya ingin mengejar kesenangan di dunia saja, merujuk pada karya jurnalistik, namun juga harus mengharapkan selamat dunia akhirat. Menurutnya, dengan pemberitaan seperti yang dia yakini tidak sesuai itu, merupakan bentuk penganiayaan.

“Jangan ingin senang di dunia saja, tapi nganiaya orang itu catatan keburukannya terus berjalan. Dipertanggungjawabkan, apalagi berdampak terhadap banyak orang. Opininya diamini oleh banyak orang yang sama-sama salah, tidak presisi,” ujarnya.

Fatah mengklaim bahwa dirinya sudah berdiskusi dengan rekan medianya, dan meminta masukan bagaimana untuk menghadapi berita-berita yang menurutnya tidak tepat itu. Hasilnya, Fatah mengaku akan menggelar kumpulan awak media lebih rutin, agar awak media yang dia sebut sebagai oknum, bisa belajar lebih baik dalam membuat tulisan, tidak seperti yang dia sebut tidak tepat.

“Ya saya tanya, gimana, mohon masukannya. Apakah saya punya hak jawab, atau supaya sama-sama bermusyawarah lewat Dewan Pers. Pesannya nanti harus sering diajak kumpul tuh yang oknum-oknum wartawan yang mungkin belum cukup wawasan dalam mengambil perspektif, sehingga kelihatan tidak presisi dan tidak objektif, harus sering dilatih setiap bulan. Enggak apa-apa tempatnya di sini, bareng-bareng latihan,” kata dia.

Ia pun mengaku kasihan dengan mereka yang disebut oknum wartawan itu. Karena, hidup di dunia hanya sementara, dan apa yang diperbuat harus dipertanggungjawabkan. Jika mereka yang Fatah sebut sebagai oknum wartawan itu senang melihat orang teraniaya, maka nanti akan ada balasannya.

“Kasihan, kita ini hidup terbatas di sini, ada tanggung jawab moral nanti. Dipertanggungjawabkan. Ya kita misalkan senang melihat orang teraniaya, ada balasannya. Itu yang saya ingatkan kepada insan pers. Karena dampaknya apalagi digital sekarang, saya di kapal masih terombang-ambing, sudah di share-share berita yang sangat jauh judulnya. Dua rektor hanya dipisahkan oleh jembatan Selat Sunda, ber kongkalingkong melakukan titipan,” jelasnya.

Ia pun meminta doa kepada para peserta Coffee Morning, agar persoalan tersebut dapat segera selesai, dan tidak ada ‘tindaklanjut’. Ia pun meminta agar tidak ada lagi perspektif-perspektif lainnya, yang disebut oleh Fatah sebagai perspektif yang salah.

“Saya akan memberikan hak jawab, supaya memberikan pelajaran hikmah, bukannya marah. Namanya manusia enggak ada yang sempurna. Pers itu bukan malaikat, jadi jangan posisikan diri yang paling benar. Dan saya pesan juga, jangan jadi hakim jalanan. Kasian teman-teman yang dalam proses taat sebagai warga negara dan proses sebagai saksi, sudah diposisikan sebagai terdakwa oleh pers,” tuturnya.

Fatah juga mengatakan bahwa banyak rekannya yang merupakan insan pers, meninggal di usia muda. Sehingga diharapkan para insan pers dapat ‘mengisi’ kehidupan dengan hal-hal yang baik, dan tidak mengambil apa yang dia sebut sebagai berita orderan untuk menganiaya orang.

“Jangan dikira enggak ada dampaknya, banyak teman-teman saya pers yang meninggal muda. Jadi kalau kita enggak cukup umur, kita harus siap kita bahwa semua isinya kebaikan. Biar halal yang kita makan, bukan karena kita dapat duit, dapat orderan untuk menganiaya orang,” tandasnya.(DZH/ENK)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *