Kala Al Terjebak Lumpur Feodalistis

REFORMASI Birokrasi menjadi hal yang sangat spesial bagi Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar. Agenda Reformasi Birokrasi selalu diucap berkali-kali oleh Al Muktabar, selama hampir setahun dirinya menjabat sebagai Penjabat Gubernur Banten. Memang, Reformasi Birokrasi merupakan salah satu tugas yang dimandatkan oleh Presiden RI, Joko Widodo kepada Al selaku Gubernur transisi.

Reformasi Birokrasi sendiri merupakan proses penataan ulang birokrasi pemerintah yang meliputi organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik, serta pola pikir dan budaya kerja aparatur. Gebrakan yang tengah dilakukan oleh Al pada pelaksanaan Reformasi Birokrasi, adalah perampingan SOTK.

Al sejak awal bersikukuh untuk melakukan perampingan SOTK, meski banyak pihak yang menolaknya. Al kerap kali berlindung di balik Permenpan-RB Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi, dalam setiap kesempatan pembahasan perampingan itu.

“Sejak tahun 2021 Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas terkait penyederhanaan birokrasi, yang ditandai dengan dikeluarkannya Permenpan-RB Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi Pada Instansi Pemerintah Untuk Penyederhanaan Birokrasi,” ujar Al usai Penyampaian Nota Pengantar Gubernur Mengenai Raperda Usul Gubernur tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Banten, November lalu.

Pada berbagai kesempatan, Al juga mengatakan jika Permenpan-RB Nomor 25 tahun 2021 itu mengatur terkait dengan tiga tahapan penyederhanaan. Ketiganya yakni penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional dan penyesuaian sistem kerja. Dari tiga hal itu menurut Al, Pemprov Banten masih belum melaksanakan tahap penyederhanaan struktur organisasi. Makanya ia ngebet untuk melaksanakannya di masa dirinya menjabat.

Keinginan Al untuk segera melakukan perampingan SOTK, berkali-kali mendapatkan penolakan. Sejumlah organisasi masyarakat maupun mahasiswa, kerap melangsungkan aksi unjuk rasa di depan KP3B, guna menolak rencana perampingan SOTK itu. Bahkan, ruang rapat paripurna DPRD Provinsi Banten, sempat memanas akibat dari keinginan Al untuk merampingkan SOTK.

Kala itu, rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Nawa Said Dimyati atau Cak Nawa, beragendakan pembacaan jawaban Pj Gubernur Banten, atas pemandangan umum fraksi-fraksi. Dalam pelaksanaannya, Fraksi Partai Golkar diwakili oleh Fitron Nur Iksan, menginterupsi jalannya persidangan.

Fitron menegaskan bahwa kebijakan perampingan SOTK yang diinisiasi oleh Penjabat Gubernur Banten kurang tepat. Pasalnya, Al Muktabar selaku Penjabat Gubernur Banten, harusnya berfokus pada perapihan birokrasi, alih-alih perampingan birokrasi. Hal itu karena banyak persoalan birokrasi yang harus segera diselesaikan. Apalagi menurut Fitron, Al hanya rezim peralihan saja.

“Jangan sampai pemerintahan sementara ini, yang hanya peralihan, membuat keputusan terburu-buru dan akhirnya membuat pemerintahan definitif nanti jadi sulit. Mereka akan punya RPJMD, mereka akan punya visi-misi, mereka akan punya janji politik. Kalau ini dilakukan dan tidak sesuai, akan ada perubahan lagi. Jadi lebih baik fokus pada persoalan birokrasi yang memang ada saat ini,” ujarnya pada saat itu.

Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada, juga berpendapat demikian. Menurut dia, Al seharusnya tidak perlu repot-repot merombak SOTK yang ada di Pemprov Banten, karena tugas utama dari Penjabat Gubernur adalah menjalankan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) yang telah diberikan oleh Kemendagri.

“Ya jelas, urusan perampingan SOTK itu bukan urusan Penjabat Gubernur. Ibarat rumah, posisi kursi, ruang tamu, dapur, kamar tidur itu bukan diacak-acak oleh seorang Penjabat dengan sekehendak selera sendiri. Tugas Penjabat Gubernur itu menjalankan RPD Transisi yang sudah given dari Kemendagri. Itu mestinya yang harus jadi pijakan Al Muktabar,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (16/3).

Menurut Uday, tidak ada yang salah dengan rencana perampingan SOTK yang digagas oleh Al Muktabar. Namun, waktu pelaksanaannya yang menurut Uday tidak tepat. Apalagi jika dilakukan di tengah pelaksanaan APBD yang telah berjalan sesuai dengan putusan rapat paripurna akhir tahun 2022 lalu.

“Sebagaimana saya sering singgung, saya setuju dengan prinsip efisiensi anggaran dan perampingan SOTK. Tapi timing-nya tidak tepat. Sebab APBD 2023 sudah diketok menjadi Perda pada Desember 2022. Demikian pula DPA-nya sudah dibagikan kepada seluruh OPD,” tutur Uday.

Ketua Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT), Ucu Nur Arief Jauhar, mengatakan bahwa ngebetnya Al Muktabar untuk melakukan perampingan SOTK, merupakan hasil dari tafsir mandiri Al Muktabar, atas mandatori yang diberikan oleh pusat kepada dirinya.

“Penjabat Gubernur hanya memikirkan pencapaian target-target mandatori tafsirannya sendiri dan peningkatan signifikan kinerja/reformasi birokrasi tafsirannya sendiri. Padahal jelas-jelas negara kita itu negara hukum, bukan negara tafsiran sendiri-sendiri,” ujarnya kepada BANPOS.

Ucu menegaskan bahwa dalam melaksanakan kebijakan, Penjabat Gubernur Banten harus memahami dan membaca aturan-aturan tersebut sesuai dengan kaidah hukum yang ada, bukan menggunakan tafsir dan bahasa sendiri.

“Semua yang dilakukan Pemprov Banten, termasuk Penjabat Gubernur, harus sesuai dengan peraturan perundangan yang dibaca sesuai kaidah Bahasa Indonesia dan kaidah hukum, bukan dibaca sesuai kaidah Tata Boga,” tegasnya.

Menurut Ucu, semua sudah jelas apabila dalam melaksanakan tugas kepemerintahan, Penjabat Gubernur Banten mengacu pada aturan yang ada. Bahkan untuk membantu meringankan mandatori yang diberikan, terdapat organisasi perangkat daerah (OPD) yang seharusnya dapat dimaksimalkan keberadaannya.

“Bagaimana menangani tugas-tugas mandatori, sudah ada aturannya. Bahkan punya organ struktural sendiri di Pemprov Banten. Tapi tidak diaktifkan. Malah organ struktural daerah diobrak-abrik untuk menanggung beban mandatori. Terus buat apa ada otonomi daerah?” tanya Ucu.

Ucu bahkan menilai, Al Muktabar saat ini lebih genit berpolitik ketimbang menjalankan tugas mandatorinya selaku Penjabat Gubernur. Padahal, jabatan yang dia emban saat ini, bukanlah jabatan politis, melainkan jabatan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk sementara waktu. Bahkan, Al dalam membangun komunikasi untuk menjalankan tugasnya, sangat kurang.

“Penjabat Gubernur tidak mampu membangun komunikasi yang baik dengan elemen-elemen lainnya. Termasuk bawahannya. Yang diperlihatkan hanya citra atau imej bahwa ia dekat dengan elemen-elemen masyarakat,” ungkapnya.

Untuk diketahui, Ucu yang juga merupakan Koordinator Komunitas Relawan Jokowi (KRJ) Banten telah melakukan aduan kepada Kantor Staf Presiden (KSP), terkait dengan sejumlah polemik yang terjadi di bawah kepemimpinan Al Muktabar. Tujuannya yakni mengadukan kinerja Al kepada Presiden, yang memberikan mandat sebagai Penjabat Gubernur.

Adapun untuk permasalahan yang diadukan oleh Ucu yakni tiga persoalan yang disampaikan ke KSP. Persoalan pertama yakni terkait penetapan lima Pergub tentang SOTK, padahal Raperda SOTK-nya masih digodok oleh DPRD Banten. “Kedua, terkait soal status hukum Plt yang diangkat per 2 Januari 2023 yang diduga maladministrasi. Ketiga, soal adanya diskresi dalam batang tubuh kelima Pergub tersebut,” tutur Ucu.

Pengamat politik, Ikhsan Ahmad, mengatakan bahwa Al Muktabar sebetulnya terjebak dalam permainan politiknya sendiri. Al menurutnya, tengah terombang-ambing di antara arus kekuatan politik yang membawanya menjadi seorang Penjabat Gubernur.

“Penjabat sendiri sebenarnya terjebak dalam permainannya sendiri. Mengawali keterpilihan dirinya dengan menundukkan diri pada kekuatan politik tertentu, tetapi bingung dengan arus kekuatan politik yang dibawa oleh kekuatan politik tersebut,” katanya.

Terombang-ambingnya Al Muktabar diantara arus kekuatan politik itu, tercermin dalam setiap kebijakannya yang disebut kurang jelas dan tidak terlihat arahnya. Hal itu karena minimnya pendirian dari seorang Al Muktabar, sebagai seorang Penjabat Gubernur.

“Sehingga menciptakan sosok figur pemimpin yang sulit ditebak. Bukan karena memiliki strategi, tetapi lebih banyak menghitung modal trust atau kepercayaan yang nyaris bangkrut dalam harmonisasi dan akselerasi birokrasi terhadap diri dan pelayanannya,” ucapnya.

Ia bahkan sangat yakin jika perjalanan birokrasi di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur Al Muktabar, itu berjalan mundur. Bahkan, Reformasi Birokrasi yang sejatinya pembaharuan menuju good and clean governance, justru dibawa oleh Al terbenam ke dalam lumpur feodalisme.

“Dinamika perjalanan birokrasi dalam kepemimpinan Penjabat Gubernur, sebetulnya berjalan mundur ke belakang, bukan saja jalan ditempat, yakni kondisi dimana birokrasi yang merasa dirinya sudah berjalan ke arah reformasi, tetapi sesungguhnya masih terbenam dalam lumpur feodalisme,” tandasnya.(MUF/DZH/ENK) 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *