Spiritualitas Puasa, Oleh Dr. Ali Muhtarom, M.S.I (Wakil Dekan III FTK UIN SMH Banten)

Bulan Ramadhan merupakan momentum penting bagi umat Islam untuk meningkatkan amal ibadah. Selain puasa yang menjadi ritual utama di bulan Ramadhan, banyak sekali ibadah yang dianjurkan dalam rangka memenuhi keutamaan bulan suci Ramadhan, seperti membaca Al-Qur’an, Qiyamullail, memperbanyak sedekah, dan lain sebagainya.

Momentum kesucian bulan ramadhan juga dihiasi oleh banyak kegiatan dakwah melalui ceramah-ceramah keislaman di berbagai media, bahkan iklan-iklan di media cetak, televisi, maupun media online lainnya. Semua bentuk kegiatan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu ajakan untuk mengisi dengan berbagai kegiatan ibadah di bulan puasa.

Dari momentum penting bulan Ramadhan, puasa memiliki dimensi ibadah yang bertujuan untuk membangun kesadaran menuju puncak keikhlasan. Puasa memiliki derajat ibadah yang istimewa karena di dalamnya mengandung unsur kepatuhan diri hamba yang tidak imitasi. Di sinilah spiritualitas puasa melekat pada hamba yang patuh dan senantiasa menghadirkan makna dalam berbagai rangkaian ibadah lainnya selama Ramadhan.

Bangunan keikhlasan dalam ibadah puasa menutup segala bentuk egoisme diri karena egoisme akan merusak nilai dan kesempurnaan ibadah puasa. Egoisme diri yang dimaksud adalah faktor yang menyebabkan terhalangnya keikhlasan yang bersifat ekstrinsik.

Ibadah yang diterima Allah adalah yang didasari oleh motif intrinsik atau kesadaran yang muncul dari diri bukan dari luar yang bersifat ekstrinsik. Sehingga, konsep kesadaran diri yang muncul dari motif intrinsik ini sangat selaras dengan prinsip keikhlasan yang menjadi dasar diterimanya ibadah.

Kekuatan ibadah puasa akan membekas dan melekat pada hamba Allah dengan penuh makna. Hal ini bisa dilihat dari pengertiannya, bahwa puasa menekankan pada makna “imsak” yaitu menahan diri dari segala bentuk hal-hal yang membatalkan puasa dari waktu yang ditentukan.

Jika dipahami secara lebih mendalam, terutama dari perspektif ilmu tasawuf, esensi menahan atau imsak adalah menundukkan segala bentuk hawa nafsu, baik dalam bentuk nafsu makan, nafsu seksualitas, maupun nafsu yang timbul dari rasa sombong yang menyebabkan riya’.

Ibadah puasa pada prinsipnya adalah untuk melatih diri supaya senantiasa mampu mengendalikan atau menahan diri dari segala bentuk perilaku yang menyimpang dari ketentuan nilai nilai ajaran agama Islam.

Ibadah puasa sangat menekankan pada pembentukan perilaku terpuji yang didasarkan pada keikhlasan. Dasar pembentukan perilaku terpuji (al-akhlak al-karimah) senantiasa bertumpu pada prinsip keseimbangan, yaitu menempatkan potensi hawa nafsu supaya tidak menyimpang dalam bingkai nilai nilai agama Islam.

Untuk itu, momentum ibadah puasa menjadi kekuatan untuk membentengi diri dari segala bentuk sifat tercela (al-akhlaq al-mazmumah). Nilai ibadah puasa ditentukan oleh keikhlasan dan kesadaran diri dalam mencapai kedekatan diri pada Allah (taqorruban ilallah) yang seharusnya mampu termanifestasikan dalam pemikiran, sikap, dan perilaku yang senantiasa didasarkan pada nilai nilai ajaran Islam.

Sehingga, spiritualitas puasa akan membentuk hamba Allah yang ikhlas dan benar-benar tunduk menjalankan perintah-Nya yang termanifestasikan dalam perilaku jujur, moderat, tidak sombong, dan selalu menjaga keseimbangan pikiran, sikap, dan tindakan yang sesuai dengan nilai dan tujuan ibadah puasa.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *