JAKARTA, BANPOS – Kalangan Senayan menolak rencana Pemerintah untuk kembali impor beras sebanyak 500 ribu ton. Hal ini mengingat petani tengah melakukan panen raya. Bahkan di banyak sentra pertanian, harga gabah justru turun sangat tajam.
Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan mengatakan, petani tengah melakukan panen rayapetani tengah melakukan panen rayapetani tengah melakukan panen raya
“Ketika panen raya, gabah melimpah, harga di tingkat petani justru sangat murah. Anjlok. Tetapi di saat yang sama, harga beras di pasaran itu harganya tinggi,” keluh Johan Rosihan, kemarin.
Johan mengatakan, Presiden Joko Widodo bersama beberapa menteri di Kabinet Indonesia Bersatu ikut panen ke sawah dan menyaksikan hasil panen para petani. Dalam kunjungan tersebut, Presiden mendapati keluhan dari petani soal harga gabah yang tidak sesuai harapan mereka
.
“Tapi kebijakan yang diambil salah. Satu menterinya malah impor beras,” kritis Johan.
Politisi Fraksi PKS ini menegaskan, kebijakan impor beras jelas bertentangan dengan situasi saat ini di mana petani tengah menikmati panen raya. Untuk itu, DPR secara kelembagaan harus tegas menyatakan sikap menolak terhadap rencana Pemerintah mendatangkan beras dari negara lain.
“Saya berharap Pemerintah lebih fokus membuat tata kelola perberasan yang bagus, di mana gabah ketika panen raya bisa diserap Bulog dan di saat yang sama mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) yang terjangkau,” tegasnya.
Johan menegaskan, selama ini para petani kita telah mencurahkan cintanya kepada republik ini dengan terus berupaya meningkatkan produksi lahan pertanian miliknya. Hasilnya pun terbukti. Selama tiga tahun pandemi Covid-19, sektor pertanian menjadi satu-satunya sektor yang berkontribusi kepada perekonomian nasional.
Tiga tahun ini, situasi pangan tetap terkendali bahkan tidak terjadi impor beras.
“Itu artinya petani kita telah bekerja dengan maksimal menjaga tatanan sesuai dengan istilah Bung Karno, petani adalah penjaga tatanan negara. Jadi jangan biarkan cinta petani kita bertepuk sebelah tangan,” tegas politisi daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat ini.
Hal senada dilontarkan anggota Komisi IV DPR drh. Slamet. Menurutnya, Pemerintah tidak mampu mengatasi gejolak harga beras di pasaran. Terakhir, per 20 Maret, harga beras medium sudah menyentuh angka Rp 11.900 per kilogram, telah melewati harga beras tertinggi tahun 2022 yaitu Rp 11.340 per kilogram.
Tapi menghadapi situasi tersebut, pendekatan yang dilakukan justru sangat reaktif, instan, dan tidak terukur. “Ini dimulai kebijakan impor 500 ton beras pada November 2022 hingga Februari 2023, padahal stok beras nasional mencapai 1,7 juta ton,” jelasnya.
Tidak sampai di situ, Badan Pangan Nasional (Bapan) pada Februari lalu malah menetapkan harga batas bawah Gabah Kering Panen (GKP) tingkat petani Rp 4.200 per kilogram dan harga batas atas Rp 45.500 per kilogram. Penetapan harga bawah-atas tersebut tidak melibatkan unsur petani dalam pengambilan keputusannya.
“Belum sebulan, keputusan Bapan terkait HPP (harga pembelian pemerintah-red) kemudian dicabut karena menuai reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Di satu sisi kita apresiasi karena Pemerintah masih mau mendengarkan jeritan petani,” ujarnya.
Slamet menilai, dari dua kejadian tersebut sejatinya menunjukkan tidak matangnya pengambilan keputusan Pemerintah. Apalagi, pekan lalu publik kembali dikejutkan lagi dengan statement Kementerian Perdagangan (Kemendag). Bahwa, sewaktu-waktu dapat dilakukan impor beras lagi 500 ribu ton lagi untuk perkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan stabilisasi harga beras.
“Sampai kapan petani kita mau dikorbankan dengan kebijakan yang sangat merugikan seperti ini. Atau jangan-jangan memang kondisi ini disengaja karena ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari situasi ini,” curiganya.
Politisi Fraksi PKS ini menilai, Pemerintah saat ini sangat kesulitan dalam mengendalikan harga karena tidak mampu menguasai stok di tingkat petani. Sementara pengusaha-pengusaha besar swasta dengan segala kemampuannya dapat membeli gabah petani di atas HPP dengan strategi memberikan bonus kepada suplier agar stok gabah tetap masuk kepada mereka.
“Akibatnya market share Pemerintah menjadi sangat kecil yang pada akhirnya melemahkan posisi tawar Pemerintah. Memang aneh terdengarnya, Pemerintah kalah dari swasta,” katanya.
Terpisah, Kepala Biro Perencanaan Kerjasama dan Humas Bapan, Prof. Risfaheri memastikan situasi pangan menghadapi Ramadan dan Idulfitri ini dalam kondisi aman dan harga cukup terkendali. Namun begitu, dia tidak menampik terjadi kenaikan pada beberapa komoditas tertentu seperti cabe dan beras. Cabe mengalami kenaikan harga cukup tajam, namun tetap dapat disiasati dengan berbagai pendekatan seperti memasyarakatkan gerakan tanam cabe di sekitar pekarangan.(RMID)
Tinggalkan Balasan