Berbicara mengenai perempuan memang selalu menarik, apalagi membicarakan kiprah perempuan pada bidang politik. Persepsi masyarakat tentang gender masih membandingkan antara kemampuan laki-laki dan perempuan dalam mengemban suatu tanggungjawab. Di Indonesia hubungan antara laki-laki dan perempuan masih didominasi dan dipengaruhi dengan ideologi gender yang menumbuhkan budaya yang bernama patriarki. Patriarki yang mendominasi budaya berkontribusi pada pembentukan ketidaksetaraan gender yang mempengaruhi semua bidang dan aspek aktivitas manusia.
Kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia dipelopori oleh RA. Kartini sejak tahun 1908. Perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA. Kartini sebagai wujud perlawanan atas ketidak adilan terhadap kaum perempuan pada masa itu.
Indonesia sendiri telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non diskriminasi), jaminan persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Sementara itu, upaya pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam penyelenggaran pemilu yaitu dengan dikeluarkannya aturan penyelengara pemilu, asas pemilu, dan mekanisme kerja penyelengara pemilu dalam UU No. 22 Tahun 2007. Hal ini juga menjadi penguat atas kebijakan afirmatif. Affirmative action (tindakan afirmatif) sendiri adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Dapat pula diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Peluang tersebut bisa dapat dimanfaatkan oleh gender kaum perempuan. Kebijakan afirmatif pada penyelenggara pemilu juga dapat dilihat dalam UU No. 7 tahun 2017 Pasal 10 Ayat 7 dan Pasal 92 Ayat 1 tentang Komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Afirmasi keterwakilan perempuan adalah hal yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk mewujudkannya. Keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu belum memenuhi kuota 30% padahal keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu secara jelas diatur dalam undang-undang penyelenggara pemilu UU Nomor 15 Tahun 2015 pasal 6 ayat 5. faktanya masih dapat dilihat terdapat ketimpangan gender di dalam struktur keanggotaan KPU dan Bawaslu. Keterlibatan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu adalah penting sebab perempuan memiliki cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan mengutamakan perdamaian dan anti kekerasan. Seperti yang kita ketahui bekerja di KPU dan Bawaslu penuh dengan konflik dengan pihak eksternal seperti Parpol, caleg, masyarakat dan stakeholder lainnya.
Urgensi afirmasi perempuan harus hadir di penyelenggara pemilu dikarenakan penyelenggara pemilu adalah regulator dan implementator penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, afirmasi perempuan diperlukan untuk memastikan kebijakan hulu ke hilir penyelenggaraan pemilu tidak bias gender, berpihak pada perempuan, dan inklusif.
Dalam Lampiran II Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai ciri khusus yakni kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. Sehingga dalam menyusun norma haruslah menggunakan kata/kalimat yang lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas, maka penggunaan kata “memperhatikan” dalam norma “komposisi keanggotaan dalam Penyelenggara Pemilu, baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)” menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerancuan dalam penafsiran. Kata “memperhatikan” disini dapat dimaknai sebuah keharusan untuk dipenuhi, atau di sisi lain hanya sebuah himbauan untuk dipertimbangkan saja.
Berdasarkan Interparliamentary Union (IPU) di tingkat ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam. Keterwakilan perempuan yang berada di parlemen Indonesia berada di bawah 20% tepatnya 19,8%. Bila dibandingkan dengan rata-rata dunia, proporsi wanita dalam parlemen di Indonesia masih jauh tertinggal. Berdasarkan data yang dihimpun KPU tentang penetapan anggota Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Pusat, keterwakilan perempuan pada periode 2017-2022 belum mencapai batas minimal 30%. Berikut data komisioner KPU berdasarkan SK KPU Nomor: 511/PP.06- Pu/05/KPU/V/2018 tentang penetapan anggota KPU Provinsi Periode 2018-2023 dan SK No: 588/PP.06-Pu/05/KPU/VI/2018 tentang penetapan anggota KPU Kota dan Kabupaten Periode 2018-2023. Komisioner KPU Pusat periode 2017-2022: 6 laki-laki (85,7 %) dan 1 perempuan (14,3%). Komisioner KPU Provinsi 2017-2022: 146 laki-laki (78,9%) dan 39 perempuan (21,1%). Komisioner KPU Kabupaten/Kota perioed 2017-2022: 2.101 laki-laki (82,7%) dan 441 perempuan (17,3%).
Komisioner Bawaslu pada periode 2017-2022 pun kurang lebih serupa. Komisioner Bawaslu Pusat 2017-2022: 4 laki-laki (80%) dan 1 perempuan (20%). Komisioner Bawaslu Provinsi 2018-2023: 150 laki-laki (79,8%) dan 38 perempuan (20,2%). Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota periode 2018-2023: 1.599 laki-laki (83,5%) dan 315 perempuan (16,5%). Berdasarkan jumlah dari total presentase Komisioner KPU dan Bawaslu dapat disimpulkan bahwa keterwakilan perempuan di ranah penyelenggara pemilu kurang dari 30%, bahkan tidak sampai 25%. Selain itu keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia hanya memenuhi kuota 20%.
Menurut penulis, sebenarnya upaya pemerintah untuk menempatkan perempuan dalam dunia politik di Indonesia sudah sangat bagus. Namun implementasinya masih hanya sekedar formalitas. Masih sebatas hanya untuk memenuhi proses dan mekanisme saja, Padahal jika mereka dipercaya, penulis yakin banyak perempuan-perempuan hebat yang memiliki kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan serta wawasan yang bagus. Namun yang terjadi saat ini, belum banyak yang memberinya kepercayaan. Kalau pun ada, masih sekedar sebagai pelengkap atau formalitas untuk memenuhi regulasi saja. Jadi, bagaimana kedudukan kuota 30%? Apakah kewajiban, tuntutan atau formalitas saja? Kurangnya representasi perempuan dalam kancah politik di Indonesia harusnya hal ini menjadi perhatian penting yang harus diperhatikan oleh semua lini.
Opini Ditulis oleh Novia Purnama Sari (PPK pada Pemilu Tahun 2024 KPU Kabupaten Tanah Datar)
Tinggalkan Balasan