“Tancapkan dirimu di bumi kerendahan hati. Sebab, pohon yang tumbuh tanpa ditancapkan terlebih dahulu, hasilnya kurang begitu optimal.” (Ibnu Athaillah as-Sakandari)
Melalui novel psiko historisnya, Pikiran Orang Indonesia, Hafis Azhari seakan menawarkan detail, konsep sejarah yang paling prinsipil, hingga mencari titik keseimbangan dalam pola dan struktur kepenulisan sastra mutakhir Indonesia. Di samping itu, ia pun membuka ruang-ruang dialog dalam analisis dan data-data sejarah yang diungkapkannya. Hingga tak ayal melahirkan berbagai tanggapan maupun apresiasi sastra yang marak di tahun-tahun terakhir ini.
Ketika saya coba bertandang di tempat kerjanya, di luar jendela terhampar pesawahan hijau dan bebukitan yang berombak di depan sebuah pondok pesantren, sekitar dua ratus meter dari jalan raya Cikande menuju Rangkasbitung, Lebak. Di waktu subuh, akan terdengar gema lantunan azan yang saling bersahutan dari masjid-masjid perkampungan di sekelilingnya. Ketika makin tampak jelas semburat fajar yang memerah di kejauhan, Hafis memulai aktivitasnya dengan menulis di depan laptop menghadap ke jendela. Suatu kali, ia pun berujar, “Coba perhatikan kebun-kebun dan hamparan pesawahan yang hijau menguning itu. Kebun di depan itu milik tetangga saya, juga semua sawah itu milik masyarakat kampung sini. Tetapi dari tempat saya mengetik ini, dengan gratis saya bisa ikut menikmati dan mensyukuri keindahan pemandangannya.”
Jiwa seniman dalam dirinya mendorong luapan kreativitas dan kebebasan berekspresi yang tak dapat dikekang saat berkarya. Lebih dari itu, jiwa religiusitasnya seakan dapat memanfaatkan korteks prefrontal (otak depan) untuk mengukur, mengkalkulasi, mengontrol bentuk, serta menata konsep dan ide agar pesannya mampu terkomunikasikan dengan baik. Pertemuan dua arus jiwa seakan melahirkan ketegangan antara karakter-karakter yang kontradiktif. Hingga di satu sisi, ada saja orang yang memandang Hafis sedang menyampaikan dakwah sekularisme, namun di sisi lain lebih menilainya sebagai khotbah penginjil, atau penceramah yang menganjurkan ketakwaan kepada segenap umat.
“Sah-sah saja, dari sudut manapun orang menilai. Meskipun bagi seorang beriman yang dewasa, mendapat sanjungan tidak layak membuat kita bangga diri, tetapi juga kritikan dan caci-maki tidak layak membuat kita marah dan sakit hati,” ujarnya dengan tenang.
Lihat saja pada konsep pertemanannya yang tanpa batas, baik melalui novel maupun cerpen-cerpennya yang marak ditampilkan media massa luring maupun daring. Karya-karya itu seakan menampilkan genre sastra pasca pandemi yang menekankan semangat muhasabah dan introspeksi diri. Baginya, menuangkan gagasan dalam bentuk prosa bukan semata soal kebebasan berimajinasi, melainkan juga soal efisiensi, efektivitas dan kemaslahatan bagi pendidikan umat.
Perpaduan karakter yang kentara jelas pada goresan penanya, dapat ditelusuri dari latar belakangnya sebagai peneliti di bidang sejarah dan filsafat, juga pernah menempuh masa bertahun-tahun sebagai santri di pondok pesantren Daar el-Qolam (Rumah Pena) di daerah Tangerang, Banten Utara.
Hafis tergolong penulis yang memadukan kerja spontanitas dengan daya cipta yang serba perhitungan dan kontrol yang rapi. Ia memang tak terbiasa mencatat jadwal kegiatannya secara detail, tetapi ia tergolong pengkliping dokumen sastra yang tekun. Tampak di tempat kerjanya, ratusan buku-buku besar, hasil klipingan berita-berita, baik sastra dalam dan luar negeri, termasuk yang tertuang dalam media cetak maupun elektronik. Hafis menjadikan itu sebagai arsip sejarah yang bisa dibaca ulang agar momen-momen berharga bukan sekadar dapat menghidupkan memori, tetapi juga mampu menumbuhkan percik inspirasi dalam proses kreatif kepenulisannya.
Sepertinya ia mencoba membangun identitas diri yang lebih luas, sebagai seorang penulis sastra, sejarawan, yang juga lekat dengan nuansa monoteisme (tauhid) sebagai seorang muslim Banten. Ia pernah mendominasi wacana dan opini-opini di semua koran daerah di provinsi Banten selama beberapa tahun. Sebagai biografer untuk penulisan beberapa kiai di Banten (Kiai Rifai Arief, Kiai Syahiduddin, Kiai Eeng Nurhaeni, Kiai Anang Azharie dan Kiai Sulaiman Effendi) ia pun menjadi pembicara tentang sastra dan keislaman, baik di Banten, Jakarta, Madura hingga Bali. Juga mengadakan umroh, sambil menelusuri penelitian ilmiah tentang jejak dan tapak kaki yang pernah dilakoni Rasulullah di tanah suci Mekah dan Madinah.
Dalam novel Perasaan Orang Banten, Hafis cenderung terpengaruh pada gaya penulisan realisme modern Eropa, tetapi pada Jendral Tua dan Kucing Belang, ciri khasnya semakin mengarah ke transformasi yang lebih eksploratif terhadap khazanah budaya dan sejarah Indonesia. Di sisi lain, tampaknya ia makin serius menggali tema-tema spiritualitas yang berkembang, terutama melalui cerpen-cerpen yang terus bermunculan di media-media daring. Meskipun demikian, cukup problematis jika menggolongkan karyanya ke genre sastra Islam modern, laiknya Habiburrahman El-Sirazy, Helvy Tyana Rosa atau Oki Setiana Dewi. Dengan basis kultural sebagai putera kelahiran Banten, Hafis terus mendayagunakan posisinya sebagai seorang religius.
Untuk itu, lumrah sekali jika muncul berbagai analisis, khususnya di kompas.id (baca: Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra), bahwa karya-karya prosanya memiliki ending-ending yang unik dan happy, ketimbang karya-karya Eka Kurniawan yang cenderung pada absurditas melulu.
Jadi, walaupun tidak termasuk ke dalam golongan sastra religi, namun ia begitu tanggap dan cekatan untuk menghidupkan warisan nilai dari tanah leluhurnya sebagai sumber inspirasi ilahiah.
Dengan demikian, tradisi Islam abangan (pesantren) tidak ditampilkannya sebagai media khotbah yang terlampau idealis. Akan tetapi, ia hadir seakan berdiri sendiri, apa adanya, semata-mata untuk kebutuhan artistik. Namun seiring waktu, Hafis mengalami kegelisahan atas banyak sastra Indonesia yang kerap menggunakan bahasa-bahasa genit dan mendayu-dayu. Ia seakan membayangkan setting lokasi dan penokohan secara utuh dan menyeluruh, sehingga pembaca bisa menyimak adanya upaya pemadatan tinimbang mengulur-ulur cerita dengan bahasa yang muluk, puitis dan mendayu-dayu.
Semua itu berpangkal pada titik tolak bahwa sebuah karya sastra harus mampu berbicara kepada publik, menjadi perspektif yang mencerdaskan dan mencerahkan.
Sebelum menggoreskan penanya, Hafis seakan lebih dulu merumuskan fungsi dari karya sastra, bahkan sifat yang sesungguhnya melekat pada karakter seni. Dalam eksekusi kreatifnya, ia berusaha merancang plot-plot terlebih dahulu, perihal detail substantif apa yang hendak disampaikan. Jika pun ada karya sastranya yang memilih absurditas sebagai ending cerita, pembaca kemudian menarik kesimpulan dari makna yang terkandung di dalamnya. Misalnya, pada cerpen “Cinta Itu Buta” (www.ruangsastra.com) kita akan menarik kesimpulan bahwa tipikal penokohan itu hendaknya tidak menjadikan kita terjerumus dalam lubang yang sama.
Sesuatu yang absurd justru membuat pembaca menghindarinya, serta mengambil pelajaran yang berharga darinya. Pada prinsipnya, pesan-pesan universal dari kitab suci (Alquran) telah mampu diejawantahkan ke dalam kehidupan konkret, demi keselamatan dan kemaslahatan manusia.
Sebagai putera kelahiran daerah yang bertetangga dengan ibukota, dialek Jakarta yang digunakannya bukan sebatas eksperimentasi, melainkan sudah melekat renyah dalam darah dagingnya. Bagaimanapun, dominasi gaya Jakarta tak bisa dipungkiri, ia akan tetap menjadi ukuran mayoritas pemakaian bahasa orang-orang kita. Dialek dan logat Jakarta, memiliki ciri khas dalam beragam gaya dan cakapnya. Tak terkecuali etnis Banten yang melebur dalam kesatuan dialek yang akhirnya Jakarta juga yang menjadi tumpuan utamanya.
Semua itu merupakan proses sanering dan akulturasi budaya yang telah matang dan dewasa, dan telah berlangsung selama beberapa dekade, sejak diikrarkannya kesepakatan bahasa Melayu Tinggi (Jakarta) sebagai bahasa nasional kita. ***
*Pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), menulis prosa dan esai di berbagai media nasional, luring dan daring. Juga peraih nominasi sastra Litera 2021.
Tinggalkan Balasan