IBADAH haji menjadi suatu ritual yang memiliki arti khusus bagi umat Islam dunia, termasuk bagi uamt muslim di Provinsi Banten. Meski sudah memiliki kemampuan fisik dan finansial, seseorang warga negara Indonesia harus rela antre puluhan tahun demi menuaikan rukun Islam kelima itu. Namun, praktik kecurangan dituding terjadi yang menyebabkan antrian hanya sekedar formalitas bagi jamaah-jamaah tertentu.
Banten, sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Jawa, memiliki sejarah panjang dalam penyelenggaraan ibadah haji. Sebagai salah satu provinsi dengan jumlah calon jamaah haji terbesar di Indonesia, proses pendaftaran dan pengaturan antrian haji di Banten menjadi perhatian penting bagi pemerintah dan masyarakat setempat.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul laporan dan indikasi yang menggambarkan adanya praktik saling serobot antrian haji di beberapa kota di Banten. Saling serobot antrian haji merujuk pada praktik tidak etis di mana beberapa pihak menggunakan cara-cara yang melanggar aturan untuk mendapatkan posisi atau prioritas dalam antrian haji, mengorbankan keadilan dan kepentingan calon jamaah yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama.
Praktik saling serobot antrian haji tidak hanya melanggar prinsip kesetaraan dalam ibadah haji, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian bagi calon jamaah yang telah menunggu giliran dengan patuh dan sesuai prosedur. Selain itu, praktik ini juga mencoreng proses penyelenggaraan haji yang seharusnya transparan, adil, dan bebas dari kecurangan.
Seperti diungkapkan seorang warga Kota Serang berinisial EZ (60). Dia mengaku telah mendaftarkan haji di Kantor Kementerian Agama Kota Serang pada 2013 lalu.
Sebenarnya dia tidak mempermasalahkan antrian yang sudah ditentukan karena dia menyadari kuota jamaah haji yang tersedia untuk Kota Serang tidak sebanding dengan pendaftar calon haji.
Namun, situasi berubah ketika dia mengetahui ada beberapa kenalannya yang masuk dalam kelompok jamaah haji yang diberangkatkan pada tahun ini. Bahkan, dia berani memastikan kalau beberapa orang jamaah haji yang berangkat pada tahun ini bahkan mendaftar belakangan ketimbang dirinya.
EZ menyebutkan, ada dua orang kenalannya yang masuk dalam rombongan haji tahun ini. Mereka adalah SP (45) dan SJ (58). Kedua orang itu mendaftar sekitar satu tahun setelah pendaftaran EZ ke kantor Kemenag Kota Serang, yaitu pada tahun 2014.
“SP dan SJ yang mendaftar 2014 sudah berangkat, tapi saya yang mendaftar 2013 belum adanya pemanggilan pemberangkatan. Harusnya kan kalau memang tersistem dengan benar saya dulu baru mereka,” ujarnya, Kamis (25/5).
Bukan hanya itu, EZ juga mengungkapkan bahwa orang yang mendaftar berbarengan dengan dirinya, juga masuk dalam rombongan haji tahun ini. Mereka adalah jamaah haji berinisial RU (55) dan SD (47). Baik RU maupun SD berangkat ke tanah suci tahun ini bersama istrinya masing-masing.
“Padahal daftarnya juga bareng, berangkat dari rumah bareng akan tetapi mereka berangkat duluan tahun 2023 ini,” tambahnya.
Ia menuturkan bahwa SP dan SJ melakukan percepatan pemberangkatan dengan membayarkan sejumlah uang kepada seorang oknum calo yang merupakan seorang pengurus Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIHU), begitupun RU dan SD. Bahkan EZ mengaku mendapat tawaran dari SJ untuk melakukan penyerobotan nomor antrian haji dengan membayar sejumlah uang kepada oknum tersebut.
“Mempercepat keberangkatan dengan cara penyogokan atau penyuapan, bahkan SJ sempat mengajak untuk melakukan hal yang sama dengan membayar sejumlah uang, SJ itu melakukan penyerobotan antriannya itu sebelum rame-rame Covid-19 (pada tahun 2019). Akan tetapi saya menolak, karena kan ini ibadah masa saling serobot gitu,” katanya.
Sumber BANPOS lainnya mengaku orang tuanya pernah ditawari untuk mengganti nomor antrian agar bisa berangkat lebih cepat. Sumber yang mendaftar di Kantor Kemenag Kabupaten Lebak itu juga dimintai sejumlah uang sebagai ongkos menukar nomor antrian pemberangkatannya dengan nomor calon jamaah haji lain.
”Dulu orang tua pernah ditawarin buat ambil kuota orang. Qodarullah orang tua belum berangkat aja. Tapi berbayar infonya gitu dari oknum Depagnya,” jelasnya.
Namun sumber itu mengatakan, jika pihaknya memilih untuk tidak mengambil tawaran tersebut dan memutuskan untuk mengikuti antrian yang sudah ditetapkan. ”Tapi orang tua nggak mau, lebih milih nunggu,” sambungnya.
Menurut penuturannya, kuota yang ditawarkan itu biasanya kuota calon jemaah haji yang berusia lansia dan juga yang sudah meninggal. ”Biasanya kuota lansia dan orang meninggal dunia,” tandasnya seraya menolak untuk menyebutkan nominal biaya yang diminta untuk merubah nomor antrian.
Indikasi adanya saling serobot antrian haji dalam penyelenggaraan ibadah haji juga terjadi di Kabupaten Pandeglang. Salah seorang calon Jemaah haji asal Kecamatan Cimanggu yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku bahwa dirinya pernah ditawari untuk memajukan antrian haji. Namun ia menolaknya, karena merasa takut melanggar aturan.
“Saat itu ketika di kantor bank ada salah seorang yang saya juga tidak tahu orang tersebut darimana, tiba-tiba menawarkan antrian haji. Karena saya baru pertama kali berangkat haji dan merasa takut melanggar aturan, akhirnya saya tolak. Saya mah orang kampung lah, takut terjadi apa-apa,” katanya kepada BANPOS melalui selulernya, Kamis (25/5).
Kalaupun benar antrian tersebut bisa dibeli, lanjutnya, ia juga akan mengupayakan untuk mencari uang agar mendapat antrian haji tersebut. Ia mengaku, bahwa dirinya tidak memiliki saudara ataupun kenalan pejabat yang bisa mengupayakan antrian haji.
“Saya mah orang kampung, nggak punya saudara ataupun kenalan pejabat yang mungkin bisa membantu untuk mendapat antrian haji. Kalaupun bisa, mungkin saya juga akan berusaha mengupayakannya minimal daftar tunggunya yang enam tahun,” terangnnya.
Ia menambahkan, meskipun dirinya bisa mendapatkan antrian haji lebih dekat. Namun dirinya tidak ingin berangkat terpisah dari saudaranya yang lain saat berangkat haji.
“Saya kan daftar hajinya bareng dengan tiga orang saudara saya setahun yang lalu. Jadi kalaupun bisa mendapatkan antrian haji, mungkin saya saja yang mendapatkannya. Makanya ketika ada yang menawarkan antrian haji saya tolak, karena saya ingin bareng bersama tiga saudara saya saat berangkat nanti. Katanya sih saya nunggu antriannya sekitar 15 tahun,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Universitas Mathlaul Anwar (UNMA) Banten, Eko Supriatno mengkritisi dan menyayangkan terkait sistem antrean haji. Karena calon jamaah haji membayar puluhan juta, tapi mesti menunggu puluhan tahun untuk bisa diberangkatkan.
“Buat apa orang-orang daftar, tapi antrian sampai 20 sampai 30 tahun dan membayar sekian puluh juta. Lebih menyayangkan lagi ketika calon jamaah haji itu membayar uang untuk daftar haji demi mendapatkan nomor porsi dengan berhutang. Tentunya berhaji dengan cara berhutang tidak memenuhi syarat istithaah sebagai syarat wajib haji,” katanya kepada BANPOS.
“Yang kedua, jika masalah antrian menjadi masalah, kenapa pihak-pihak yang memiliki kebijakan tidak memperbaiki sistem agar bagaimana, minimal jamaah tidak membayar sampai puluhan juta dengan waktu yang lama,” sambungnya.
Terkait dengan antrian haji, lanjut Eko, antrian masyarakat Indonesia yang mendaftar haji semakin panjang seiring dengan dibatalkannya pemberangkatan haji beberapa tahun lalu yaitu tahun 2021. Sejak adanya pandemi Covid-19, jamaah haji Indonesia sudah dua tahun berturut-turut tidak bisa berangkat menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, calon jamaah haji yang tertunda keberangkatannya ada sekitar 442 ribu orang.
“Ada kabar baik mulai tahun ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah mencanangkan 2023 sebagai tahun haji ramah lansia, meniadakan kuota pendamping jemaah haji lansia dan jemaah pendamping mahram. Hal itu demi mewujudkan penyelenggaraan haji yang berkeadilan,” ucapnya.
Oleh karena itu, kata Eko, sejak awal dirinya mengusulkan moratorium atau penghentian sementara pendaftaran haji. Masa antrean ibadah haji di Indonesia cukup lama yaitu antara 11-39 tahun. Mayoritas jamaah haji Indonesia didominasi oleh masyarakat berusia 50-70 tahun.
“Untuk itu, mungkin pemikiran saya pemerintah dan BPKH perlu melakukan moratorium pendaftaran haji. Tunda dulu, karena sudah 4 juta orang ini sekarang,” ujarnya.
Dengan adanya saling serobot antrian tersebut, tentunya bermunculan berbagai reaksi masyarakat dan tidak sedikit yang termakan oleh berita hoaks yang juga beredar di media sosial. Bahkan, tidak sedikit pula yang menyalahkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, sebab kenaikan biaya haji yang dinilai ‘meroket’ ditambah persoalan antrian panjang tadi.
“Untuk itu butuh peran total pemerintah. Berperannya pemerintah dalam ibadah haji ini bukan bentuk kesewenangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan kewajiban agama. Tetapi, pemerintah berkewajiban melindungi, mengakomodir, dan memberikan kemaslahatan secara maksimal bagi warganya yang mau menunaikan ibadah sebagai implementasi perintah agama dan amanat undang-undang,” terangnya.
Seharusnya, kata Eko lagi, yang pertama ia menawarkan opsi bagaimana biaya penyelenggaraan ibadah haji itu dibuat sistem cicilan. Jadi ketika waktu jamaah mendaftar, disebutkan tahun sekian berangkat dan angsurannya berapa tolong dibayar.
“Sangat menyesalkan kepada kebijakan yang memberikan opsi uang pelunasan boleh ditarik kembali oleh jamaah. Opsi ini terkait pembatalan keberangkatan haji seperti yang telah diatur Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1441,” katanya.
Eko menambahkan, soal dana haji ada yang usul dikembalikan tidak jadi berangkat nanti dikembalikan, untuk apa sekian puluh tahun sudah disimpan baru setahun dikembalikan lagi ini rasanya tidak pas.
“Ya, kalau uang sudah disimpan dan diniatkan untuk berangkat haji tidak perlu dikembalikan atau ditarik oleh jamaah sendiri. Karena setahun lagi pemerintah akan meminta kembali pelunasan kepada jamaah yang sudah terdaftar untuk diberangkatkan,” jelasnya.
Kedua, Kementerian Agama harusnya membuka diri terhadap kritik, saran, aduan, dan informasi lainnya. Dan terkait kinerja petugas dan kualitas layanan. Untuk memudahkan, Kemenag seyogyanya menyiapkan saluran aduan secara online. Dan saluran aduan online juga harus ditindaklanjuti. Diverifikasi di lapangan dan selanjutnya eksekusi untuk bisa segera diselesaikan layanan ini, dibuat untuk memastikan bahwa standar pelayanan minimum yang diberikan kepada jemaah berjalan dengan baik.
“Selain itu, saluran ini juga untuk memantau keluhan atau komplain yang disampaikan jemaah maupun petugas, atas kualitas layanan maupun kinerja pelayanan. Selain akomodasi dan bimbingan ibadah, aduan lainnya bisa juga terkait dengan kinerja petugas, kesehatan, konsumsi, transportasi, dan akomodasi. Lokusnya mencakup layanan di Asrama Haji, Bandara (Madinah/Jeddah), Madinah, Makkah, serta Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna),” paparnya.
“Yang ketiga, menguatkan regulasi. Misalnya, regulasi saat ini mengatur batasan usia untuk mendaftar haji 12 tahun. Kemenag juga harus melarang praktik pemberian dana talangan oleh Bank Penerima Setoran (BPS) Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) untuk membayar setoran awal jemaah. Penambahan kuota perlu ditunjang perbaikan sarana. Kami berharap peningkatan sarana, utamanya di Mina, bisa segera dilakukan Saudi. Dan jemaah yang tertunda keberangkatannya, akan menjadi prioritas untuk diberangkatkan pada penyelenggaraan haji di tahun mendatang,” ungkapnya.(MG-01/MG-02/LUK/DHE/WYU/ENK)
Tinggalkan Balasan