Sekolah Inklusi Cuma ‘Ilusi’

TANGERANG, BANPOS — Penerapan sekolah inklusi di berbagai daerah, terutama di Provinsi Banten, dinilai hanya sekadar pelabelan saja. Bahkan, label sekolah inklusi sepertihalnya ilusi, yang seharusnya memperluas aksesibilitas penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan justru menjadi hambatan baru.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) RI, Dante Rigmalia, usai peresmian D’Genius Learning Center di Kecamatan Cipondoh, Sabtu (27/5). Ia menilai, kepedulian pemerintah terhadap pendidikan penyandang disabilitas, terutama disleksia, masih kurang saat ini.

“Itu berdasarkan riset, bahwa pendidikan penyandang disabilitas itu 30 persen SD, 11 persen SMP, 14 persen lulusan SMA dan kurang dari 5 persen itu lulusan perguruan tinggi,” katanya.

Jika mengacu pada hasil riset tersebut, Dante menuturkan bahwa dapat disimpulkan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, belum benar-benar dirasakan sepenuhnya. Sehingga, ia menuturkan bahwa akses pendidikan terhadap penyandang disabilitas, harus benar-benar diberikan.

“Harusnya disediakan akses hak pendidikan yang bermutu untuk semua anak di semua sekolah,” tuturnya.

Ia menuturkan, sekolah inklusi seharusnya menjadi salah satu upaya untuk dapat memberikan aksesibilitas terhadap penyandang disabilitas. Namun menurutnya, sekolah inklusi justru menjadi label belaka, karena sekolah dengan label itu tidak menjadikan inklusivitas sebagai pegangan dalam penyelenggaraan pendidikan.

“Apa pegangannya? bahwa semua anak harus dihormati. Mereka berbeda, mereka memiliki kemampuan, potensi dan kebutuhan yang berbeda. Kita harus hormati, hargai dan akui dan kita harus berikan layanan sesuai dengan kondisi mereka,” ujarnya.

Bahkan menurutnya, label sekolah inklusi tersebut malah menjadi permasalahan tersendiri bagi penyandang disabilitas. Karena, banyak sekolah yang malah menolak penyandang disabilitas untuk bersekolah, dengan alasan mereka bukan sekolah inklusi.

“Tidak boleh ada sekolah A menolak karena dia bilang sekolah kami bukan sekolah inklusi. Ini yang saya sebut label. Label sekolah inklusi harus dihilangkan karena itu tidak sejalan dengan pendidikan untuk semua. Anak itu berhak sekolah, di sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya,” ungkapnya. 

Disinggung apakah Komisi Nasional Disabiltas RI sudah mendorong kebijakan tersebut, Dante menyatakan bahwa dorongan tersebut sudah disampaikan baik kepada kementerian/lembaga, untuk bisa mengarusutamakan isu disabilitas, termasuk kepada pemda.

“Kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kita selalu sampaikan bahwa seyogyanya memperhatikan hak pendidikan yang bermutu kepada semua warga negara, dengan membuka akses seluas-luasnya di seluruh sekolah bahwa penyandang disabilitas tidak boleh ada penolakan,” ucapnya.

Namun di sisi lain, jika sekolah merasa belum mampu menangani, maka ada sebuah kewajiban bagi sekolah untuk mencari tahu bagaimana cara untuk mengembangkan diri, sehingga ke depan dapat menangani anak-anak disabilitas.

“Termasuk yang disleksia. Kan disleksia ini tidak terlihat dan seringkali dijudgment (dihakimi), tidak mau nurut, pelupa, bandel. Padahal kita perlu asesmen. Bisa jadi punya hambatan dan kesulitan mengelola hal-hal yang seperti itu,” tegasnya.     

Sementara Program Director Dyslexia Genius, Bulan Ayu, menyatakan pihaknya ingin agar penyandang disleksia bisa mendapatkan penanganan yang tepat, serta dapat memenuhi kesiapan anak dalam belajar.

“Karena disleksia masih sangat awam bagi masyarakat khususnya orang tua. Sehingga mereka masih belum tahu penanganan tepatnya seperti apa, apalagi terkadang masih banyak yang menyandang disleksia dianggap sebagai pemalas, makanya kami ingin mendirikan learning center ini,” tandasnya. (DZH/BNN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *