Ketika Ideologi ‘Dikebiri’ Popularitas 

HARAP-HARAP cemas berakhir klimaks. Setelah sebelumnya beredar informasi yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan sistem Pemilu Tertutup pada pemilu 2024, akhirnya lembaga penguji konstitusi itu masih melanggengkan sistem terbuka.

Dengan keputusan ini, pemilih masih akan mencoblos, partai politik, atau Nomor urut atau nama caleg. Tak ayal, keputusan ini mendapat sambutan hangat, terutama dari Bakal Calon Legislatif (Bacaleg). Karena dalam beberapa bulan terakhir, mereka lah yang paling menunggu-nunggu keputusan ini.

Wacana terbuka-tertutup yang ramai sebelumnya, memang mengganjal banyak hal yang sudah menjadi tradisi Pemilu di Indonesia. Banyak Bacaleg wait and see, menghitung untung-rugi sebelum menjalankan aksi.

Yang menarik dari putusan itu sesungguhnya adalah alasan dari para penggugat. Mereka menganggap sistem pemilu proporsional terbuka telah dibajak para caleg pragmatis yang hanya bermodalkan popularitas tanpa ikatan ideologis dengan parpol. Akibatnya, ketika mereka menjadi anggota legislatif seolah-olah hanya mewakili diri sendiri.

Alasan ini, sebenarnya cukup masuk akal. Figur populer belum tentu memiliki kompetensi dalam mengemban amanat rakyat di gedung perwakilan. Tak sedikit pula figur populer yuang justru ‘tenggelam’ di lembaga legislatif karena kalah vokal dan kalah kualitas dari para politisi ‘beneran’.  

Bila ditelisik lebih jauh, kecenderungan parpol untuk merekrut figur populer, tak lepas dari keinginan parpol maupun figur itu sendiri. Parpol butuh suara sebanyak-banyaknya, sementara sang figur juga ingin memberikan pengabdiannya kepada bangsa, meskipun secara kualitas tak sedikit juga yang minus. 

Hubungan simbiosis mutualisme antara popularitas figur dan raihan suara parpol memang berpengaruh cukup siginifikan. Buktinya adalah banyaknya figur populer nonpolitisi yang akhirnya duduk sebagai wakil rakyat.

Para figur populer ini tentu tak serta merta menjadi wakil rakyat. Mereka juga menjalani kaderisasi dan pendidikan politik dari partainya masing-masing. Tetapi, sejauh mana pendidikan ‘singkat’ itu bisa memberi pengaruh kepada pola pikir dan pola aksi figur tersebut? Rasanya kita tak bisa terlalu berharap dari sini.

Perekrutan figur populer memang menjadi shortcut bagi sebagian besar parpol di Indonesia. Menciptakan kader ideologis memang mahal dan butuh waktu panjang. Di sisi lain jalur instan lebih menarik karena bisa mengabaikan banyak proses.

Kondisi ini tentu juga menjadi tanggung jawab parpol. Sebagai lembaga politik, mereka seharusnya bisa melahirkan tokoh-tokoh politik yang matang oleh proses perjuangan. Karena hanya dengan proses lah bisa lahir politisi-politisi yang benar-benar memiliki kompetensi, memiliki popularitas karena pengabdian dan pemikirannya yang bermanfaat untuk bangsa dan masyarakat. 

Tapi, rasanya masih terlalu jauh berharap titik ideal politik Indonesia itu bisa terwujud dalam waktu dekat. Karena, dalam sistem pemilu sejak era reformasi, paradigma kebanyakan parpol masih begitu-begitu saja. Karena mereka masih berpikir bagaimana meraup suara sebanyak-banyaknya, ketimbang memberi manfaat sebesar-besarnya.

Jadi, nikmati saja dulu sistem yang ada. Bagaimana pun, ini yang kita miliki saat ini. Kedepannya tentu kita berharap parpol bisa meningkatkan kualitas demokrasi kita dengan menyuguhkan kader-kader terbaiknya yang bukan hanya memiliki popularitas, tetapi juga kompetensi dan kualitas untuk menjadi garda terdepan perubahan bangsa menuju ke arah yang lebih baik.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *