TIDAK henti-hentinya selama hampir 30 tahun, Pulau Sangiang dilanda berbagai persoalan. Pertarungan antara penduduk asli pulau dengan PT PKP selaku penerima Hak Guna Bangunan (HGB) dalam pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang, melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan hingga babi-babi hutan.
Riwayat konflik tersebut bermula saat PT PKP mendapatkan mandat dari pemerintah pusat pada tahun 1993, untuk melakukan pengusahaan wisata alam Pulau Sangiang. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 66/Kpts-II/1993 tertanggal 26 Desember 1993, pemerintah memberikan PT PKP untuk mengelola lahan seluas 591,65 hektare.
SK Menteri Kehutanan pada saat itu, ditindaklanjuti dengan permohonan PT PKP untuk mendapatkan hak atas tanah berupa HGB, kepada Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Jawa Barat, pada saat itu Provinsi Banten belum berdiri. Permohonan penerbitan HGB disetujui dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Banten nomor 745/HGB/KWBPN/1994 seluas 122.000 meter persegi (HGB 21), 746/HGB/KWBPN/1994 seluas 435.900 meter persegi (HGB 23), 747/HGB/KWBPN/1994 seluas 24.500 meter persegi (HGB 22) dan 748/HGB/KWBPN/1994 seluas 1.896.000 meter persegi (HGB 24). Secara akumulatif, luas tanah keempat HGB tersebut yakni 2.478.400 meter persegi.
Berdasarkan pengakuan dari PT PKP dalam risalah putusan Nomor: 13/G/2012/PTUN-SRG, perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut mengklaim telah melakukan pembebasan tanah-tanah hak milik dan hukum adat, dari masyarakat Pulau Sangiang. Tanah-tanah yang diklaim dibebaskan ialah tanah milik masyarakat, yang masuk ke dalam batas HGB PT PKP, tepatnya HGB 24.
“…dalam upaya merealisasikan usahanya tersebut terhitung sejak tahun 1993 (PT PKP) telah mulai melakukan pembebasan atas tanah-tanah Hak Milik dan Hak Milik Adat dari Penduduk/Pemilik Asal Tanah yang berlokasi di Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang,” demikian kutipan pernyataan PT PKP dalam amar putusan PTUN Serang.
Klaim pembebasan lahan itu dibantah oleh Ustad Pian. Menurutnya, yang terjadi adalah pengusiran yang dilakukan pada awal pemberian hak pengusahaan Pulau Sangiang kepada PT PKP. Pun dengan klaim pembebasan tanah tersebut, justru dilakukan di bawah tangan dan tidak melibatkan masyarakat Pulau Sangiang.
“Kalau kami melihatnya ada rekayasa untuk melakukan apa yang mereka lakukan pembebasan. Pada tahun 1993, masyarakat Cikoneng (daratan) secara tidak sadar sudah dipersiapkan untuk dijadikan alat untuk pembebasan tanah itu. Karena saat itu tiba-tiba sudah ada SPPT dan pembagian-pembagian lainnya, dan sudah dipersiapkan formulir untuk diisi pernyataan seolah-olah punya tanah di Pulau Sangiang. Lalu formulir itu dijual ke investor, sehingga jadilah yang tanah HGB itu,” tuturnya.
Pertarungan antara masyarakat Pulau Sangiang dengan PT PKP tak surut dimakan zaman. Bak makanan sehari-hari, konflik itu terus berkelanjutan tanpa henti setiap tahunnya. Tercatat pada kisaran tahun 2018, terungkap bahwa masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada persoalan babi hutan dan hewan hama lainnya, yang meneror aktivitas mereka. Masyarakat yang mayoritas bekerja dengan bercocok tanam, terganggu akibat hama babi hutan yang diduga sengaja disebar oleh PT PKP.
“Padahal di sini bukan habitat babi hutan. Mulai munculnya babi hutan itu sejak tahun 2005 memang. Selain babi hutan, ada juga tupai, rusa dan bekicot darat. Semuanya mengganggu penghidupan masyarakat Pulau Sangiang seperti tupai yang sering mengambil kelapa, rusa yang sering memakan tanaman kami, juga bekicot darat,” ungkapnya.
Menurut Ustad Pian, PT PKP mengakui jika mereka membawa sejumlah rusa untuk dipelihara di lahan yang mereka kelola. Rusa tersebut awalnya berada dalam kandang, namun suatu waktu, kandang tersebut rusak dan menjadi liar di Pulau Sangiang. Ia menduga, hewan-hewan itu sengaja dilepaskan oleh PT PKP untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak betah dan segera hengkang dari pulau.
“Rusa itu sudah beranak pinak sehingga banyak sekarang. Sering juga masuk ke wilayah pemukiman masyarakat. Rusa itu kan makannya malam, dan sering memakan tanaman kami. Secara aturan juga ada rusa yang dilindungi, jadi kami menduga ini sengaja dilepasliarkan, sehingga jika ada warga yang membunuh rusa tersebut, bisa terkena kriminalisasi,” tuturnya.
Pertarungan antara PT PKP dengan masyarakat Pulau Sangiang juga terjadi pada tahun 2019. Saat itu, masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada dugaan kriminalisasi warga. Tiga orang warga Pulau Sangiang yakni Masrijan, Lukman dan Mardaka yang dituding telah menggunakan lahan HGB PT PKP, untuk mendulang keuntungan sendiri. Ketiganya dituduh demikian karena menyewakan rumah milik mereka kepada wisatawan, dengan tarif sebesar Rp500 ribu per hari. Ketiganya divonis bersalah dengan hukuman empat bulan penjara tanpa penahanan.
Salah satu pihak yang getol menyuarakan pembebasan Pulau Sangiang ialah Pena Masyarakat. Di bawah kepemimpinan Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat konsisten melakukan advokasi hingga saat ini. Perlahan tapi pasti, Mad Haer dan kawan-kawan menunggu momentum habisnya masa HGB PT PKP, untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, agar tidak memperpanjang kondisi yang mereka sebut sebagai penjajahan terhadap Pulau Sangiang.
Pria yang akrab disapa Aeng ini saat ditemui di Basecamp Pena Masyarakat, menegaskan bahwa persoalan Pulau Sangiang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan juga eksistensi terhadap keberadaan masyarakat Pulau Sangiang, yang telah turun temurun menempati pulau yang sejarahnya merupakan pemberian Kesultanan Lampung.
Persoalan eksistensi itu muncul lantaran pada saat persidangan tiga warga Pulau Sangiang, pihak Perhutani yang dihadirkan sebagai saksi, menegasikan keberadaan masyarakat di Pulau Sangiang. Mereka hanya mengakui keberadaan Perhutani, TNI AL dan PT PKP saja.
“Jadi harus ada pengakuan bahwa di Pulau Sangiang itu ada masyarakat. Juga harus ada pengakuan bahwa di sana ada kehidupan, kehidupan warga Negara Republik Indonesia yang kebetulan tinggal di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS.
Ia menuturkan, klaim keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu juga disebutkan oleh PT PKP dalam risalah persidangan PTUN sebelumnya. Namun ternyata, Aeng menegaskan bahwa tidak ada dampak apapun yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi masyarakat Pulau Sangiang. “Malah yang ada justru mereka menunggak bayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1997 kan,” tuturnya.
Aeng mengungkapkan, alih-alih memberikan kesejahteraan, PT PKP justru malah melakukan tindakan pengusiran terhadap masyarakat. Terbukti dari yang awalnya terdapat 122 keluarga yang tinggal di Pulau Sangiang, terus menyusut hingga hanya tersisa 14 keluarga saja. Hal itu akibat gangguan hama yang diduga sengaja dilepaskan oleh PT PKP, dilanjutkan dengan bujuk rayu uang agar masyarakat hengkang dari sana.
“PT PKP sedari awal memang mau menguasai penuh Pulau Sangiang. Mereka tidak mau berbagi dengan masyarakat asli pulau. Padahal masyarakat sudah ada sejak sebelum adanya PT PKP, bahkan sebelum negara menetapkan Pulau Sangiang sebagai kepemilikan negara,” tegasnya.
Selain berbuat ‘onar’ dengan masyarakat Pulau Sangiang, PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) juga beberapa kali berhadapan dengan hukum, baik itu pidana, perdata maupun pajak, selama menguasai pulau. Pada tahun 2005, Direktur PT PKP, Dewanto Kurniawan, diseret ke meja hijau lantaran diduga telah melakukan perusakan terhadap Pulau Sangiang.
Kasus yang bermula dari laporan masyarakat itu, ditindaklanjuti oleh Polda Banten. Dewanto pun ditetapkan sebagai tersangka, dan berkas perkara dilimpahkan ke Kejati Banten untuk didakwa. Seiring perjalanan persidangan, dilansir dari Hukum Online, Dewanto divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang, Husni Rizal.
Vonis bebas tersebut lantaran JPU saat itu, Asnawi, enggan membacakan tuntutan, sebelum Majelis Hakim diganti. Keinginan JPU untuk mengganti Majelis Hakim, karena diduga Majelis Hakim telah menerima fasilitas dari terdakwa di Pulau Sangiang, sebelum persidangan dilakukan. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakindependenan hakim dalam memutus perkara.
Namun Majelis Hakim tidak menghiraukan permintaan pergantian tersebut, dan tetap menjalankan persidangan. Hingga tiga kali persidangan, JPU keukeh tidak mau membacakan tuntutan, hingga akhirnya dakwaan awal dari JPU dimentahkan oleh Majelis Hakim. Dewanto dibebaskan dari dakwaan. Dari hasil penelusuran online BANPOS, tidak ada tindaklanjut atas perkara itu, meskipun JPU mengklaim telah mengajukan verzet atau perlawanan terhadap putusan hakim.
Perkara selanjutnya yakni dicabutnya tiga HGB PT PKP oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dicabutnya HGB tersebut lantaran diduga tanah yang disertifikati HGB itu telah ditelantarkan oleh PT PKP. Pihak perusahaan menggugat putusan tersebut ke PTUN Serang, dan memenangkan persidangan. Kemenangan tersebut terjadi lantaran BPN diduga melakukan cacat administrasi dalam pelaksanaan penetapan tanah terlantar itu. Upaya banding dari pihak BPN pun tetap kalah, meskipun tidak ada bantahan terkait dengan status penelantaran tanah yang dimaksud oleh BPN.
Terakhir yakni menunggaknya pajak bumi dan bangunan (PBB) PT PKP kepada Pemkab Serang. Perusahaan itu telah menunggak pajak sejak 1997, dan baru dilunasi pada tahun 2022 dengan besaran Rp6,8 miliar tanpa denda. Berdasarkan perhitungan, apabila PT PKP tetap membayar pajak dengan dibebankan denda, maka seharusnya pemasukan yang diterima oleh Pemkab Serang sebesar Rp9.875.692.287, dengan nilai denda sebesar Rp3.075.692.301 dengan asumsi denda 2 persen per bulan maksimal selama 24 bulan.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan