TANGERANG, BANPOS – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Tangerang melaporkan sebanyak 78 kasus kekerasan terjadi pada anak dan perempuan sepanjang Januari hingga Juni 2023. Maraknya kasus kekerasan anak dan perempuan itu disebut karena pengaruh buruk media sosial (medsos).
Kepala DP3A Kabupaten Tangerang, Asep Suherman, mengatakan bahwa angka tersebut dinilai mengalami peningkatan berdasarkan pengaduan yang diterima. Laporan yang diterima melalui aplikasi dan secara langsung itu merupakan perhitungan selama periode Januari hingga Juni 2023.
Ia menyebutkan, 78 kasus kekerasan tersebut merupakan akumulasi data gabungan dari pelaporan yang ada, diantaranya seperti kasus dialami oleh anak-anak di bawah umur, dan sisanya terjadi terhadap perempuan dewasa.
“Data itu termasuk dari jumlah kekerasan seksual 20 kasus, pelecehan 14 kasus, KDRT fisik sebanyak 9 kasus, serta psikis sebanyak sembilan kasus dan lain sebagainya,” ujarnya, Senin (3/7).
Dibanding angka kasus kekerasan pada tahun sebelumnya, pihaknya melihat terdapat sedikit peningkatan. Hal tersebut menurutnya, disebabkan oleh faktor kemudahan dan kesadaran masyarakat dalam proses pengaduan tersebut.
“Bila dibandingkan tahun sebelumnya, memang berbeda. Karena saat ini masyarakat sudah sadar dan berani untuk melaporkan kasus kekerasan itu ke kami. Beda dengan dulu kebanyakan masyarakat takut untuk melapor, jadi kebanyakan kasus tidak diketahui,” ujarnya
Adapun untuk kasus-kasus sebelumnya, DP3A Tangerang telah menerima sebanyak 498 kasus kekerasan anak dan perempuan yang terhitung sajak 2020 sampai 2022.
“Terhitung sejak 2020 lalu ada 152 kasus yang dilaporkan, 2021 sebanyak 154 kasus, 2022 ada 192 kasus. Dan dari kasus itu sekitar 90 persen dapat ditangani,” ungkapnya.
Kendati demikian, lanjut Asep, dalam upaya menekan angka kekerasan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Tangerang kini telah membuka ruang advokasi atau pendampingan terhadap para korban.
Selain itu, pihaknya juga secara intens melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan dan perlindungan, jika terjadi kekerasan serta melaksanakan penyembuhan trauma.
“Selain kita membuka pelaporan secara online melalui aplikasi SISABAR, kita juga telah membuka pos pengaduan melalui relawan yang disebarkan di 29 kecamatan yang ada,” kata dia.
Menurut Asep, timbulnya kasus kekerasan terhadap anak di daerahnya itu akibat penggunaan media sosial (medsos) yang tidak sehat. Medsos disebut memberikan dampak buruk yang signifikan terhadap peningkatan kasus kekerasan anak.
“Tentu penyebab terjadinya kasus kekerasan anak ini, media sosial sangat berpengaruh. Sekarang kalau kita lihat mulai dari anak SD sudah pegang telepon seluler. Dan itu secara untuk pengembangan anak tidak bagus,” ucapnya.
Ia menerangkan jika kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak itu, sangat berpengaruh besar akibat penggunaan media sosial. Karena secara dasar, potensi kasus-kasus pelecehan yang telah terjadi berawal dari tontonan atau konten tidak mendidik tanpa pengawasan.
“Contoh seperti kasus yang ditemukan itu seperti perkenalan melalui media sosial. Dan di situ potensi anak menjadi korban kekerasan maupun seksual oleh pelaku,” tuturnya.
Selain itu, penyebab lainnya atas kasus kekerasan seksual terhadap anak itu adalah korban perpisahan antara orang tua. Hal tersebut berdampak pada minimnya pengawasan anak dari pergaulan lingkungan sekitar.
“Perceraian orang tua juga jadi pemicu terjadinya potensi kasus kekerasan anak dari lingkungan sekitar atas tidak terawasinya dari kedua orang tuanya,” ujarnya.
Meski demikian, kata dia, selama ini pihaknya terus intens untuk mencegah kasus kekerasan terhadap anak dengan melakukan sosialisasi atas dinamika remaja dalam penggunaan media sosial yang sehat, ke lingkungan pendidikan.
“Tentu langkah kita melakukan sosialisasi secara intens ke lingkungan pendidikan terhadap penggunaan media sosial itu. Kemudian, edukasi kepada para orang tua juga kita lakukan,” tandasnya. (DZH/ANT)
Tinggalkan Balasan