PANDEGLANG, BANPOS – Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang memutuskan untuk menunda sidang putusan terdakwa Alwi Husen Maolana, pada perkara Revenge Porn dan Sextortion. Hal ini membuat keluarga korban merasa terkena ghosting oleh pengadilan.
Sesuai jadwal, Majelis Hakim PN Pandeglang seharusnya membacakan putusan dengan Nomor perkara 71/Pid.sus2923. Namun kuasa hukum terdakwa melakukan pengajuan pembelaan atau pledoi kepada majelis hakim.
“Konsekuensi dari permintaan kuasa hukum terdakwa untuk diberikan kesempatan menyampaikan pledoi yang berindikasi pada penundaan persidangan,” kata Majelis Hakim PN Pandeglang, Hendy Eka Chandra, Selasa (11/7).
Atas perubahan tersebut, berdasarkan pantauan di dalam lokasi persidangan, dari pihak keluarga korban melontarkan protes kepada majelis hakim dan korban pun menangis histeria usai mendengar putusan.
Sidang tersebut juga dilakukan tertutup saat kuasa hukum terdakwa mengajukan dan membacakan nota pembelaan atau pledoi, karena mengandung unsur asusila. Yang mana pada awalnya jadwal itu digelar secara terbuka untuk umum.
Penundaan sidang itu membuat kecewa pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, termasuk keluarga korban yang telah menantikan keputusan dari proses peradilan, sehingga mempengaruhi perasaan korban yang mungkin mengharapkan keadilan dan penyelesaian kasus.
Iman Zanatul Haeri, kakak korban revenge porn, merasa kecewa atas keputusan tersebut. Sebab yang seharusnya hari ini sudah keluar putusan, namun pada nyatanya Majelis Hakim melakukan Ghosting atau ‘hilang’ tiba-tiba.
“Kami keluarga sangat kecewa, yang mana pada awalnya majelis hakim akan memutuskan putusan vonis, akan tetapi mereka melakukan Ghosting,” katanya.
Iman juga menyayangkan tindakan dari pihak Kepolisian, yang semakin membuat persidangan gaduh lantaran memaksa keluarga korban yang tengah menenangkan korban, untuk keluar dari ruangan persidangan.
“Pihak kepolisian sepertinya tidak punya empati, keluarga sedang menenangkan korban, tapi dipaksa keluar ruangan,” terang Iman.
Kuasa hukum korban, Rizky Arifianto, menegaskan bahwa pihaknya keberatan dengan keputusan hakim, untuk memberikan waktu kepada terdakwa untuk membacakan pledoi tertulis, sehingga menunda persidangan.
“Majelis Hakim tinggal membacakan vonis, pledoi terdakwa sudah pernah dilaksanakan (secara lisan). Lalu kenapa sekarang tiba-tiba pledoi lagi? Ini aneh bin ajaib,” ungkap Rizky.
Rizky pun menegaskan bahwa pihaknya juga sangat menyayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang justru bersikap pasif, dan cenderung terkesan mengikuti permintaan kuasa hukum terdakwa, untuk membacakan pledoi.
“Ada kejanggalan yang terlihat jelas dan terang, lebih terang dari cahaya. Hakim sudah musyawarah untuk membacakan putusan hari ini, tapi pada sidang hari ini hakim memberikan kesempatan peledoi lagi terhadap terdakwa sehingga harus ditunda jadwal sidang putusan,” katanya.
Menurutnya, hakim menggunakan dasar hukum Pasal 182 KUHAP untuk memberikan kesempatan pledoi kembali kepada terdakwa. Ia mengatakan, hal itu memang dibenarkan, namun dengan catatan putusan belum dibuat.
“Sementara saat ini putusan sudah siap dibacakan oleh Majelis Hakim. Majelis sudah bermusyawarah pastinya untuk membuat putusan. Artinya bahwa Pasal 182 telah gugur dengan sendirinya, karena hakim sudah siap dengan putusan, lalu peledoi untuk apa?” terangnya.
Pasifnya JPU tersebut menurutnya pun, berkontradiksi dengan pernyataan dari Kepala Kejari Pandeglang, Helena, yang menyatakan bahwa korban dalam persidangan diwakili oleh jaksa. Pasifnya JPU pun dinilai sebagai tindakan jaksa dalam mewakili kepentingan terdakwa.
Kuasa hukum korban lainnya, Muhammad Syarifain, mengatakan bahwa jalannya persidangan di PN Pandeglang sangat menggambarkan bahwa persidangan cenderung memihak kepada terdakwa ketimbang korban. Maka dari itu, pihaknya tengah membersiapkan laporan atas tindakan hakim PN Pandeglang, ke Komisi Yudisial, serta JPU ke Komisi Kejaksaan.
“Kami sedang menyusun laporan ke Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Pertama karena Jaksa diduga malah menjadi pengacara terdakwa. Kedua, hakim malah menunda vonis untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa membaca pledoi dua kali. Ketiga, ada upaya intimidasi dari pihak kepolisian kepada keluarga korban,” terang Syarifain.
Sebelumnya, terdakwa telah dituntut 6 tahun penjara oleh JPU dengan didakwa melanggar Pasal 45 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Selain itu, dia terancam denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan. (DZH/ANT)
Tinggalkan Balasan