Ngampak Konstitusional

NGAMPAK, kata itu merupakan kata verbatim dari aktivitas membelah kayu menggunakan kapak atau kampak. Kata ngampak digunakan biar lebih sederhana aja dalam berkomunikasi. Namun pada kelompok tertentu, kata ‘ngampak’ memberikan makna yang berbeda.

Secara sederhana, tafsir kata ‘ngampak’ yang dimaknai pada kelompok-kelompok tertentu itu adalah mengancam seseorang, biasanya seorang pejabat, dengan suatu hal yang dapat berakibat buruk bagi sang pejabat, dan meminta sejumlah uang atau keuntungan lainnya, jika tidak mau hal itu dilakukan. Istilah dalam bahasa Inggrisnya adalah blackmailing.

Namun, aktivitas blackmailing masuk ke dalam aktivitas kriminal. Biasanya aktivitas itu dilakukan oleh para mafia atau gangster atau kelompok kriminal lainnya. Kalau masuk ke dalam aktivitas kriminal, maka sudah pasti tidak sesuai dengan konstitusi dong.

Lalu bagaimana dengan ‘ngampak’ yang konstitusional? Apakah benar ada? Tentu bagi kalian yang membaca Vox Populi saya pada edisi terdahulu, pasti tahu arah tulisan ini kemana. Betul, kita akan mengulas dari sisi Drama Korea lagi.

Dalam Drama Korea berjudul ‘Diary of Prosecutor’ episode 9, hampir seluruhnya menceritakan tentang pihak-pihak yang menggunakan celah hukum, untuk ‘ngampak’ para pejabat. Biasanya yang dikampak adalah pejabat publik seperti Kepala Polisi dan Kepala Kantor Pos, dengan cara melakukan gugatan.

Ada tiga raja ngampak dalam drama tersebut. Namun dalam episode itu, hanya tersisa satu orang saja, namanya Kapak Hwang. Dia merupakan seorang peternak lebah, namun memahami dasar-dasar hukum Tata Usaha Negara hingga pidana.

Meskipun bekerja sebagai seorang peternak lebah, Kapak Hwang akan menjadi pengangguran ketika musim ternak lebah berakhir. Saat itulah dia beraksi. Berbekal pemahaman akan dasar-dasar hukum, Kapak Hwang bekerja dengan giat dengan mencari-cari kesalahan kecil, dan melakukan gugatan.

Dalam narasinya, Kapak Hwang memang memiliki hobi melakukan gugatan. Bahkan dalam lima bulan saja, dia mengajukan gugatan sebanyak 200 kasus. Artinya kalau dirinci, setidaknya dia mengajukan sebanyak 1 hingga 2 gugatan dalam sehari. Bahkan yang digugat, terkadang tidak tahu kenapa mereka digugat.

Ibarat kalimat motivasi ‘Jadikan hobimu menjadi cuan’, hobi menggugat Kapak Hwang menjadi salah satu pemasukan bagi dirinya, selama masa libur ternak lebah. Disebutkan, Kepala Kantor Pos di Jinyeong kerap memberikan ‘upeti’ kepada Kapak Hwang, biar enggak digugat.

Episode yang berdurasi 51 menit itu menggambarkan bagaimana malesnya Kejaksaan Jinyeong untuk ngeladenin Kapak Hwang. Pasalnya, mereka pun merasa bahwa Kapak Hwang hanya menjadikan mereka dan hukum sebagai alat untuk ‘ngampak’. Akan tetapi, mereka tidak bisa menolak, karena kalau menolak, Kapak Hwang akan mengajukan keberatan kepada atasan mereka.

Gugatan yang disampaikan oleh Kapak Hwang memang sah, karena setiap orang berhak untuk mengajukan gugatan, sekalipun itu seorang jaksa. Namun beberapa cara yang dilakukan oleh Kapak Hwang lah yang akhirnya membuat dia harus terjebak oleh hobinya sendiri.

Pada salah satu scene drama, Kapak Hwang menuntut seorang anggota polisi setempat. Tuntutan itu karena dia sempat mengajukan permohonan informasi, terkait dengan catatan kriminal dan penyidikan, yang seharusnya hal itu tidak boleh dilakukan sembarangan dan tanpa tujuan tertentu.

Namun karena Kapak Hwang ternyata hanya mencari-cari kesalahan untuk melakukan gugatan, pada akhirnya dia mendapat ganjarannya. Dia digugat balik oleh para korbannya sebanyak 23 orang, atas tuduhan palsu yang dilakukan oleh si Kapak. Ending yang buruk bagi sang ‘penegak’ aturan.

Itu di Drama Korea, bagaimana di Indonesia, khususnya di Banten? Alhamdulillah, tidak ada yang seperti itu. Pihak-pihak yang menggunakan haknya untuk menggugat dan mengajukan permohonan informasi, sama sekali tidak ada tujuan untuk ‘ngampak’.

Pihak-pihak yang melakukan gugatan hingga permohonan informasi, melakukan tindakan tersebut hanya untuk menjaga hak mereka sebagai warga negara agar tidak direbut, secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh orang lain. Jadi sekali lagi, Alhamdulillah ‘ngampak’ konstitusional itu hanya terjadi di Drama Korea ya Ce’es BANPOS.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *