Antara Sportivitas dan Mental Pejabat

SEPERTI biasa, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) diwarnai kontroversi. Pemberlakuan sistem zonasi, afirmasi maupun prestasi tak bisa berjalan mulus. Karena buktinya, banyak temuan yang ditemukan masyarakat di lapangan.

Kontroversi dalam PPDB saya rasa layak terjadi. Karena sejatinya PPDB adalah kompetisi bagi para calon peserta didik untuk mendapatkan sekolah yang paling buat dia. Masalahnya, ibaratnya sebuah pertandingan, kompetisi harus dijalani dengan azas-azas sportivitas.

Dalam azas sportivitas, kecurangan tentu menjadi sesuatu yang terlarang untuk dilakukan. Bahkan tindakan-tindakan yang tidak sportif cenderung menjadi aib bagi si pelakunya.

Sayangnya, kompetisi masuk sekolah menjadi ajang orang tua untuk membuktikan ‘kesaktiannya’. Segala cara dilakukan demi memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan.

Temuan masyarakat yang banyak mengemuka, termasuk beberapa yang dilaporkan kepada Ombusdsmad RI adalah penggunaan Kartu Keluarga (KK) asli tapi palsu (Aspal). Ombudsman juga merilis aduan adanya pungutan liar dalam PPDB.

Sahabat saya, yang kebetulan menjabat sebagai ketua RT di sebuah lingkungan di Kota Serang, juga mengaku mendapatkan permintaan dari seorang dari luar Kota Serang untuk memberi surat domisili Kepada anaknya yang tahun ini bakal masuk SMA. Tak tanggung-tanggung, permintaan ini dia terima setahun lalu.

Awalnya, sistem zonasi diberlakukan untuk memberikan pemerataan pendidikan kepada warga negara. Keberadaan sekolah harus bisa diakses oleh masyarakat yang berada di sekitar sekolah itu.

Namun, niat awal yang baik itu ternyata tak berjalan sesuai rencana. Berbagai celah coba diakali oleh orang tua siswa agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang ternama, atau dulu dilabeli sekolah favorit.

Saya memprediksi, kisruh PPDB tak harus selalu berulang jika pemerataan pendidikan tak hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat kuantitatif. Hal-hal yang bersifat kualitatif juga perlu dikejar agar sekolah di setiap pelosok wilayah Provinsi Banten bisa memberikan kualitas pendidikan yang sama dengan sekolah di kota misalnya.

Satu lagi yang membuat saya tertarik menulis soal PPDB sebagai isu dalam rubrik vox populi kali ini adalah soal mental pejabat kita. Ketika seorang pejabat mengatakan PPDB berjalan lancar karena dirinya tidak mendapat laporan tentang adanya kecurangan-kecurangan, maka sampai disitulah masalah itu disikapi.

Pejabat di Pemprov Banten digaji dari pajak yang dikumpulkan masyarakat. Kalau pekerjaannya hanya menunggu laporan, tentu sia-sia pula pajak yang kita bayarkan untuk menggaji mereka.

Apresiasi justru layak diberikan Kepada Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar yang mau langsung turun ke lapangan melakukan verifikasi. Faktanya, Pj gubernur menemukan indikasi-indikasi kecurangan seperti yang dirisaukan masyarakat.

PPDB ini bukan soal si anak sekolah dimana. Tapi soal bagaimana sebuah kompetisi dijalankan dengan jujur, baik oleh peserta maupun oleh panitia kompetisinya.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *