JAKARTA, BANPOS – DPR bersama Pemerintah terus menggalakkan pertanian organik untuk peningkatan produksi dan nilai tambah bagi petani. Diharapkan, melalui pengembangan pertanian organik, petani mulai meninggalkan penggunaan pupuk dan pestisida berbahan kimia.
Anggota Komisi VI DPR Nevi Zuairina menuturkan, pembangunan pertanian organik diperlukan sebagai upaya meningkatkan produksi pangan ramah lingkungan. “Salah satu tanaman yang berhasil dipanen dengan kualitas bagus melalui pertanian organik ini adalah Kol,” tutur Nevi saat panen bersama petani di Desa Kubu Gulai Bancah, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, kemarin.
Nevi bersyukur, hasil panen petani ini memiliki kualitas lebih baik setelah menggunakan pupuk organik dan pestisida dari bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia. Selain membuat lingkungan semakin baik, pupuk organik menjadi solusi ketergantungan petani pada pupuk subsidi yang memang jumlahnya sangat terbatas.
Terpisah, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) menuturkan, salah satu inovasi pertanian organik yang dapat meningkatkan kualitas pertanaman dan kesuburan lahan adalah biosaka. Inovasi ini sudah diuji dan diaplikasikan oleh banyak petani. Dan hasilnya, mantap.
Profesor Kehormatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini bilang, pembuatan biosaka sangat mudah. Bahannya dari berasal dedaunan dan rerumputan yang dimasukkan ke dalam air kemudian diaduk dan diremas selama kurang lebih 15 menit. Adapun daun dan rumput yang diambil haruslah dari tanaman yang ada di sekitar. Tidak boleh dari luar.
Karena merupakan kearifan lokal, larutan biosaka ini tidak bisa diperjualbelikan, bahkan tidak dapat dibuat dalam skala industri. “Jadi tidak boleh dibawa ke Makassar, atau ke Yogya, tidak bisa. Kalau bikin di Semarang, ya pakainya di Semarang,” ungkapnya.
Menurut Syahrul, jika bahan yang diambil berasal dari daerah lain, maka kemungkinan besar tidak akan memberi dampak bagi tanaman. Selain itu, biosaka harus dibuat sendiri oleh petani dan tidak boleh bergantian. Daun atau rumput yang diambil pun adalah yang hijau, memiliki bentuk yang bagus dan segar, serta pastinya tidak memiliki kuman.
“Jadi tidak boleh itu kalau satu kali remas itu, dua orang bergantian. Tidak boleh. Satu kali masuk tangannya (aduk dan remas) 15 menit baru keluar. Hasilnya ini,” ujarnya sembari mengangkat botol biosaka yang sudah jadi.
Satu botol biosaka ukuran 500 mililiter, ungkap Syahrul, bisa digunakan untuk menyemprot satu hektare tanaman. Hasilnya pun, sangat terasa. Perbedaan antara tanaman yang diberi biosaka dengan yang tidak, rata-rata bedanya 1 hingga 3 ton. Misal, kalau padi yang tidak menggunakan biosaka hasilnya 5 ton per hektare, maka padi yang menggunakan biosaka itu bisa menjadi 7 ton per hektare.
Dan yang lebih penting, biosaka ini bisa menyuburkan tanah dan sangat signifikan dalam mengurangi penggunaan pupuk kimia. “Penggunaan pupuk kimia apalagi pupuk subsidi turun sampai 50 persen (tahun pertama, red),” sebutnya.
Begitu masuk tahun ke dua, lanjutnya, penggunaan pupuk kimia tinggal 40 persen dan biosaka 60 persen. Bahkan ada daerah yang mampu menekan penggunaan pupuk kimianya tinggal 20 persen dengan penggunaan biosaka ini.
“Jadi penurunannya itu luar biasa. Penggunaan satu hektare untuk pupuk kimia itu sekitar 12 sampai 22 sak, itu terlalu banyak. Nah dengan biosaka ini, cukup 6 sak,” ungkap Syahrul.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan