SERANG, BANPOS – Komisi Pemilihan Umum (KPU) merencanakan akan mengubah metode perhitungan suara menjadi dua panel pada pemilu 2024.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya korban jiwa pada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sempat terjadi pada saat pemilu sebelumnya (pemilu 2019, red), banyak petugas KPPS meninggal dunia diduga karena kelelahan pada saat penyelenggaraan pemilu.
Model rancangan tersebut mendapatkan respon dari Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Suwaib Amiruddin, yang mengatakan bahwa dengan rancangan perhitungan suara yang akan dilakukan dengan cara dua panel tersebut, akan memiliki potensi kecurangan dalam proses perhitungan suaranya.
“Bisa jadi nanti ada potensi kecurangan, karena saksi pasti akan kurang dan jika dipaksakan pengawasannya pun tentu akan repot, karena harus mengawasi dua penghitungan suara secara bersamaan,” ujarnya, Senin (31/7).
Menurutnya, penghitungan suara lebih baik seperti yang biasa dilakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Karena potensi untuk kecurangan akan timbul lebih besar jika memakai sistem penghitungan dua panel.
“Khawatir saksi yang ada malah maksimalkan di pileg, tetapi di pilpres tidak ada saksi. Jadi lebih bagus kalau satu-satu seperti biasanya,” ucapnya.
Suwaib menuturkan, dari pada melakukan penghitungan secara dua panel yang beresiko menimbulkan kecurangan dalam penghitungan suara. Alangkah lebih baik jika menambahkan petugas KPPS agar dalam penghitungan suara bisa dilakukan secara bergantian.
“Kalaupun misal ada kekurangan tenaga, itu ditambah tenaganya, saya kira lebih bagus ditambah tenaganya dari pada harus melakukan perhitungan secara bersamaan. Kan bingung nantinya. Jadi bisa disiasati dengan melakukan penghitungan suara oleh KPPS secara bergantian,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya hal tersebut juga dilakukan agar masyarakat bisa lebih mengetahui penghitungan suara secara langsung dan terbuka. Karena pemilu merupakan pesta demokrasi yang mana masyarakat terlibat secara langsung.
“Akan tetapi lebih bagus kalau penghitungan suara dihitung satu persatu, supaya masyarakat mengetahui secara detail penghitungannya. Kalau misal keduanya, khawatir acak-acakan dan tidak terstruktur dengan baik. Apalagi pemilu merupakan pesta rakyat, yang dibuat dengan bergembira,” ujarnya.
Suwaib juga menyampaikan, dengan hadirnya budaya penghitungan suara yang berbeda dengan biasanya, khawatir masyarakat akan merasa tidak puas dengan hasilnya.
“Menurut saya perlu untuk mengembalikan sistem penghitungan suara yang sudah berjalan selama ini. Khawatir, kalau ada budaya baru yang dibangun dalam penghitungan suara, masyarakat akan protes, masyarakat akan tidak puas dan merasa tidak menerima hasil,” tandasnya.(MG-02/PBN)
Tinggalkan Balasan