Panji Gumilang dan Panji Sakti

Dalam selancar saya di dunia maya, terutama di Instagram, dua nama yang saya jadikan judul ini sering lewat dalam lini masa. Panji Gumilang yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun dengan segala ‘keunikannya’. Kemudian Panji Sakti yang merupakan seniman dan berkarya melalui musikalisasi puisi.

Nama Panji Gumilang sendiri sudah lama saya kenal, dan yang paling saya ingat adalah saat pemilihan presiden tahun 2004, dimana Wiranto yang saat itu menjadi capres mendatangi pondok pesantrennya saat masa kampanye.

Sedangkan untuk Panji Sakti yang bernama asli Panji Siswanto, saya baru mengetahuinya setelah beberapa reel Instagram muncul dan menggunakan lagunya yaitu Kepada Noor.

Viralnya duo Panji ini, baik di Instagram maupun platform media sosial lainnya menunjukkan bagaimana adanya perubahan sosial di masyarakat, terutama dalam hal mengakses dan mempercayai sebuah informasi, dan juga bagaimana menyikapinya.

Kontroversi soal Panji Gumilang sebenarnya sudah muncul cukup lama. Berbagai media massa juga yang saya ingat sempat memberitakannya, bahkan MUI juga mengklaim telah melakukan penelitian pada tahun 2002 untuk Pondok Pesantren Al-Zaytun tersebut. Namun, saat itu media sosial belum sebesar dan berpengaruh seperti saat ini, sehingga eksklusifitas dalam mendapatkan informasi harus diakui pada zaman dahulu memang hanya dimiliki oleh sebagian kalangan saja. Sedangkan saat ini, ketika ada hal yang berbeda dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al-Zaytun maupun oleh pribadi Panji Gumilang langsung dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat. Sehingga secara umum masyarakat dapat memberikan penilaiannya.

Media sosial juga cukup memberikan dampak terhadap musisi seperti Panji Sakti. Yang saya ingat, dahulu mengenal musisi selain dari MTV, biasanya adalah dari radio yang menyetel lagu-lagu para musisi. Dahulu yang saya ingat ada istilah indie dan major label. Zaman dahulu, musisi seperti Panji Sakti kemungkinan besar masuk dalam kelompok indie, dan kecil kemungkinan masyarakat luas dapat mendengar lagu-lagunya di Radio apalagi di TV. Akan tetapi, terjadi pergeseran dengan adanya media sosial seperti YouTube dan Spotify. Tidak butuh waktu lama, lagu menjadi hal penting dalam media sosial seperti Tiktok dan Instagram, sehingga proses memperkenalkan lagu dari para seniman tersebut mengalami berbagai kemudahan. Masyarakat juga menjadi memiliki pilihan banyak dalam mendengarkan lagu lintas genre, tidak harus terpaku pada jenis musik tertentu saja.

Dalam kasus Panji Gumilang, setidaknya dalam komentar yang saya baca di Instagram, cenderung dengan nuansa negatif dan menyalahkan praktik-praktik dan pemahaman yang dianut oleh Panji Gumilang. Jika merujuk pada riset yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) pada tahun 2020, diketahui memang adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial. Walaupun pemahaman keagamaan lain juga banyak mewarnai diskursus agama terutama di platform twitter, namun dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase 67.2 persen, disusul dengan moderat 22.2 persen, liberal 6.1 persen dan Islamis 4.5 persen. Sementara itu berdasarkan riset dari Pengurus Pusat Muhammadiyah pada tahun 2020 juga menyebutkan bahwa 58 persen milenial belajar agama di media sosial.

Sementara, terkait efektivitas promosi menggunakan media sosial seperti yang digunakan oleh Panji Sakti, diketahui berdasarkan kesimpulan riset yang dilakukan oleh Sujud Puji Nur Rahmat pada tahun 2019, kehadiran internet sebagai media baru memberikan dampak pada berbagai lini kehidupan, termasuk dalam ranah produksi, konsumsi dan distribusi musik. Layanan situs web atau media sosial untuk—atau yang digunakan oleh—kelompok musik bisa menjadi salah satu media promosi, publikasi dan diseminasi atas eksistensi dan karya-karya kelompok itu. Musisi atau band bisa menggunakan akun media sosial

untuk membangun citra menampilkannya kepada para penggemar. Pada tataran tertentu,
interaksi yang terjadi antara musisi atau band dengan penggemar di akun media sosial
bisa digunakan sebagai salah satu—tapi bukan satu-satunya, apalagi bersifat mutlak—
alat ukur, bukti, atau indikator popularitas mereka, sebab di akun semacam ini terdapat
jejak digital dan statistiknya dapat dengan mudah dicatat.

Internet, dalam hal ini layanan berupa media sosial, juga memunculkan pola interaksi antara musisi/band dengan penggemar yang cukup berbeda dengan pola-pola interaksi antara kedua pihak ini di masa lalu, yakni ketika internet belum populer sebagai wahana pendukung komunikasi. Kini, penggemar dan idolanya bisa berinteraksi secara lebih dekat, hanya diperantarai oleh akun media sosial. Konten komunikasinya pun beragam, mulai dari sekedar berkomentar, menyapa, menanyakan informasi, hingga info yang memang terkait dengan eksistensi musisi/band.

Pada akhirnya, kehadiran media sosial terbukti memberikan perubahan sosial di masyarakat. Dampak negatif dan positif dalam sebuah perubahan memang menjadi hal yang berjalan beriringan. Saat ini memang diperlukan penguatan kembali kepada masyarakat untuk meminimalisir dampak-dampak negatif yang muncul. Adanya potensi polarisasi dan juga keengganan untuk belajar yang utuh di masyarakat memerlukan peran dari semua pihak untuk mencegahnya. Sedangkan, dengan munculnya efek positif yang ada, dapat dimanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya terpaku dengan cara-cara konvensional saja.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *