ANGKA putus sekolah (ATS) memang menjadi hal yang mengganjal di era kemerdekaan. Menjadi tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, termasuk oleh pemerintah daerah sebagai salah satu instrument penyelenggara pelayanan negara.
Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Ibnu Wahidin, mengatakan bahwa tingginya ATS di Kabupaten Lebak disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kemiskinan, budaya hingga letak geografis.
Lanjut Ibnu, kemiskinan yang dimaksud yakni kemiskinan baik secara kemampuan maupun kemauan. Budaya di tengah masyarakat yang menganggap pendidikan formal tidak begitu penting juga menjadi faktor dari beberapa ATS yang ada di Lebak serta luasnya daerah Kabupaten Lebak yang menyebabkan banyak anak harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai sekolah.
“Dua tiga tahun lalu kan juga terkena covid-19, ini juga jadi faktor penyumbang ATS yang dimana KDRT hingga perceraian yang berimbas kepada anak,” kata Ibnu kepada BANPOS.
Ibnu menjelaskan, dalam mengurangi angka ATS di Lebak merupakan tugas dari seluruh stakeholder bahkan elemen masyarakat. Salah satunya dalam lokakarya yang mengundang serta mengajak seluruh bagian masyarakat.
“Kalau hanya diurus oleh Disdik ini akan kesulitan, maka dari itu kita butuh bantuan dan kolaborasi bersama. Saat ini yang kami lakukan misal ada anak putus sekolah di SMP, akan kami arahkan untuk mengejar paket B atau setara SMP,” jelas Ibnu.
Ia menerangkan, saat ini belum ada anggaran untuk menyelesaikan permasalahan ATS di Lebak. Namun, pihaknya memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikan ATS.
“Saat ini kita bahas dengan berbagai stakeholder terkait penganggaran harus disediakan dimana apakah dari desa, kecamatan atau tingkat pemda untuk menyelesaikan ATS,” terangnya.
Ia berharap, seluruh pihak dapat berkomitmen dan konsisten dalam penanganan ATS di Lebak. Jangan sampai ada sektor yang lemah dalam menangani permasalahan ini.
“Kamis baik dari dinas pendidikan hingga sekolah selalu mengedukasi kepada masyarakat untuk menegaskan bahwa sekolah ini sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Lanjut Ibnu, saat ini pihaknya terus melakukan evaluasi agar dapat menyelesaikan permasalahan kesenjangan dibidang pendidikan baik untuk wilayah perkotaan maupun pedesaan. Menurutnya, belum tentu wilayah kota lebih mudah menanganinya karena dekat dengan pemerintahan, begitu juga sebaliknya.
“Tentu treatment-nya akan berbeda. Ini semua soal mindset. Harus kita rubah, kita sepakati bareng-bareng bahwa pendidikan itu hal yang utama,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Dindikbud Kota Serang, Tb.Suherman mengatakan bahwa pihaknya bekerjasama dengan USAID untuk menangani program anak tidak sekolah dengan program aje kendor sekolah. Dengan program itu, dia berharap supaya setiap tahun ATS di Kota Serang bisa berkurang.
“Langkah kedepan, dindik Kota Serang juga akan mengusulkan program tersebut ke Pemerintah Kota Serang agar memiliki dana tersendiri. Selama ini, kita telah bekerjasama dengan USAID dan pendanaanya lewat USAID. Kita tidak mungkin hanya bergantung pada USAID saja, kita juga harus punya kemandirian untuk mengatasi ATS di Kota Serang,” tandasnya.
Suherman juga menyampaikan, bahwa pihaknya juga akan melakukan pemantauan kepada anak tidak sekolah. Ia juga mengaku telah membentuk tim dalam penanganan hal tersebut.
“Tentu ini akan dimonitoring jangan sampai mereka tidak sekolah lagi. Oleh karena itu kami terus mengawasi melalui monitoring pengawas di setiap sekolah. Kami sudah membentuk tim yang terdiri dari beberapa kepala OPD ditambah camat dan lurah, intinya semua OPD terkait disini,” tandasnya.
Pada bagian lain, Sekretaris Dinas (Sekdis) Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Cilegon Suhendi mengatakan berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka putus di Kota Cilegon. Dikatakannya, alokasi anggaran untuk penanggulangan anak putus sekolah yakni anggaran untuk layanan akses pendidikan yaitu kegiatan pembangunan unit sekolah baru untuk SMPN 14 dan SMPN 15 Cilegon sebesar Rp7,9 miliar. Kemudian anggaran untuk pendataan ATS sebesar Rp61,2 juta.
Lebih lanjut diungkapkan Suhendi bahwa alasan utama di balik angka anak putus sekolah di Kota Baja karena berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor kurangnya minat anak untuk sekolah.
“Selain itu ada faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor komunikasi internal keluarga, dan faktor sosial. Padahal pemerintah sudah menyiapkan juga paket kesetaraan A, B, dan C untuk anak usia sekolah yang tidak sempat pendidikan formal,” terangnya.
Selain itu, pihaknya juga terus berupaya menekan angka putus sekolah dengan berbagai program yang telah direncanakan. “Penambahan unit sekolah baru untuk jenjang SMP, yaitu pembangunan SMPN 12, SMPN 13, SMPN 14, dan SMPN 15 untuk mempermudah layanan akses. Pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) untuk TK, SD, dan SMP Negeri. Pemberian beasiswa untuk siswa kurang mampu di sekolah swasta. Program Bantuan Biaya Pendidikan untuk Masyarakat atau Beasiswa Full Sarjana,” paparnya.
Kemudian kata dia, pihaknya selalu beriringan dengan DPRD dalam menekan isu anak putus sekolah di Kota Cilegon. “Dukungan DPRD untuk program BOSDA dan beasiswa untuk siswa kurang mampu,” ujarnya.
Disini lain, pihaknya selalu mengevaluasi terhadap efektivitas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah. “Pelaksanaan program dalam penanganan anak putus sekolah progresnya sudah sesuai dengan perencanaan, output-nya anak putus sekolah di Kota Cilegon jumlahnya semakin kecil,” tuturnya.
Kemudian kata dia, Dindikbud memiliki program bantuan keuangan atau beasiswa untuk meringankan beban keluarga dalam membiayai pendidikan anak. “Ada, yaitu bantuan beasiswa untuk anak kurang mampu di sekolah swasta, dan BOSDA untuk sekolah negeri,” ungkapnya.
Dindikbud juga selalu berkomunikasi dengan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan mencegah anak putus sekolah. “Dengan cara sosialisasi dan pendataan anak putus sekolah, melalui bantuan para Penilik dan Pokmas tiap kelurahan. Tujuannya untuk didata dan diarahkan untuk masuk sekolah baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan non formal,” ujarnya.
Kemudian untuk mengatasi tantangan dalam mengurangi anak putus sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, pihaknya terjun ke masyarakat.
“Melakukan pendataan anak putus sekolah baik daerah perkotaan maupun di pedesaan untuk mengetahui penyebab putus sekolah. Mengajak/membujuk untuk bersekolah jika ditemukan ada anak putus sekolah ke sekolah formal, maupun non formal. Membangun Unit Sekolah Baru (USB) di wilayah yang belum ada sekolah negerinya, memberikan bantuan operasional sekolah (BOSDA) kemudian memberikan beasiswa untuk siswa kurang mampu di sekolah swasta,” tuturnya.
Sementara, Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pandeglang, Sutoto mengakui Pemkab Pandeglang hingga saat ini belum mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan anak putus sekolah.
“Belum ada anggaran secara khusus untuk anak putus sekolah, selama ini penanganan melalui kemitraan dengan Baznas dan donasi perorangan,” kata Sutoto kepada BANPOS, Kamis (17/8).
Menurutnya, meski data kemendikbud mencatat ribuan anak Pandeglang putus sekolah, berdasarkan data yang tercatat pada Disdikpora, pihaknya belum menerima laporan adanya anak putus sekolah di Kabupaten Pandeglang.
“Dari pengecekan lapangan tidak ditemukan anak putus sekolah, bahkan sekolah menyampaikan data anak lulus 100 persen dan melanjutkan semua ke sekolah formal dan nonformal,” terangnya.
Terkait rencana kongkret yang telah diambil atau sedang dikembangkan oleh Disdikpora untuk mengantisipasi atau mengurangi angka anak putus sekolah, Sutoto mengatakan bahwa saat ini sedang dilakukan verifikasi.
“Sedang dilakukan verifikasi data dengan pendampingan konsultan data USAID Erat supaya akhir Agustus disepakati data kongkrit anak tidak sekolah,” ujarnya.
Sutoto mengaku, bahwa sinergi antara Disdikpora dengan DPRD Kabupaten Pandeglang dalam menangani isu anak putus sekolah saat ini masih dianggap hal yang biasa.
“Penanganan anak putus sekolah dianggap hal yang biasa saja belum mendapat perhatian prioritas dari eksekutif dan legislative,” ucapnya.
Saat ditanya terkait bagaimana evaluasi Disdikpora terhadap efektifitas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah, Sutoto mengatakan saat ini masih menunggu verifikasi data.
“Belum bisa dievaluasi menunggu selesai verifikasi data,” ujarnya lagi.
Sutoto mengatakan, program bantuan keuangan atau beasiswa untuk meringankan beban keluarga dalam membiayai pendidikan anak, Disdikpora sudah meluncurkan program Prokampus.
“Sudah diluncurkan Prokampus untuk anak dari keluarga tidak mampu yang mau kuliah, sedangkan untuk penanganan anak SD dan SMP putus sekolah belum ada, masih mengandalkan PIP dari pusat,” jelasnya.
Dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Pendidikan dan mencegah anak putus sekolah, Sutoto mengaku bahwa Disdikpora melakukanya melalui sosialisasi.
“Perluas sosialisasi, ajak ulama dan tokoh masyarakat,” ucapnya.
Saat ditanya terkait bagaimana Disdikpora mengatasi tantangan dalam mengurangi anak putus sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, Sutoto menyebut guru kurang merespon pendataan anak putus sekolah.
“Tantangannya guru kurang respon mendata anak putus sekolah dan orang tua tidak melapor jika anaknya tidak sekolah, sehingga kesulitan data untuk penanganannya,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Komisi 4 DPRD Kabupaten Pandeglang, Rika Kartikasari mengatakan, bahwa di Kabupaten Pandeglang tidak ada anak putus sekolah merupakan hal yang tidak mungkin.
“Kalau penurunan jumlah angka anak putus sekolah mungkin, tapi kalau tidak ada sama sekali itu nggak mungkin. Karena didaerah selatan masih tampak anak-anak ini masih ada yang tidak sekolah, atau ada anak yang tidak melanjutkan dari SD ke SMP itukan masih ada dan itu masuk kategori putus sekolah,” kata Rika kepada BANPOS.
Menurutnya, langkah yang telah dilakukan DPRD dalam mengatasi anak putus sekolah, pihaknya lebih mengutamakan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen.
“Jadi kalau kita tetap berfokus pada kewajiban kita untuk anggaran kabupaten itu 20 persen untuk pendidikan, kita utamakan itu. Kalau anggarannya sudah ada, kan tinggal keinginan siswa untuk sekolah. Sedangkan kalau melihat didaerah, kadang-kadang mereka itu punya keinginan untuk sekolah. Kadang mereka beranggapan bahwa sekolah itu gratis, tetap saja Ketika masuk harus ada yang dibayarkan dan itu yang diluar kewenangan anggaran kita,” terangnya.
“Kalau Pendidikan kita genjot, tapi pemberdayaan masyarakatnya dalam mata pencahariannya tidak meningkat dan tidak berkembang, kemungkinan putus sekolah tetap saja terjadi. Jadi tidak single factor,” sambungnya.
Saat ditanya apakah DPRD telah menginisiasi kebijakan atau program khusus terkait penanggulangan anak putus sekolah, Rika mengaku bahwa belum menginisiasi.
“Kalau program khusus belum, misalkan dari Perda itu belum ada, kemudian kalau dari anggaran anggapan kita sebelum ada aspirasi masyarakat dengan ikut program pemerintah pusat bahwa sekolah negeri itu gratis. Maka kita anggap itu sudah salah satu program memutus rantai putus sekolah, ternyata kenyataan di masyarakat tidak demikian,” jelasnya.
Menurutnya, evaluasi DPRD terhadap efektiftas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah, saat ini belum efektif. Sehingga terkait informasi anak putus sekolah merupakan suatu masukan bagi DPRD.
“Ini masukan buat kami di Komisi IV, terutama saya pribadi bahwa kita harus fokus di ranah Pendidikan pada anak putus sekolah. Jadi ada prioritas lain yang yang harus kita optimalkan di tahun ini sampai tahun depan di akhir periode kita sebagai anggota dewan,” ujarnya.
Dalam menangani anak putus sekolah, kata Rika, pihaknya belum memiliki rencana untuk melibatkan komunitas atau organisasi swasta dalam upaya menangani anak putus sekolah.
“Sejauh ini belum, karena belum ada koordinasi juga. Kita belum tahu NGO yang kira-kiranya bisa berkolaborasi. Kalau ada informasi dari wartawan itu sangat baik, dari kami belum. Kalau kita melihatnya itu dari Dinsos ada Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), nah LKS ini kadang membentuk juga yayasan pendidikan dalam tanda kutip. Misalnya swasta yang memfasilitasi anak kurang mampu dan anak yatim yang putus sekolah,” paparnya.
Terkait dengan tantangan spesifik seperti kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, Rika mengatakan bahwa seharusnya dilakukan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Harapan kita awalnya dari PPDB, maksudnya bahwa di lingkungan tersebut ada sekolah dan disitu silahkan masuk. Jadi adanya pemerataan, anak pintar itu tidak selalu sekolah di sekolah favorit dan anak yang tidak diterima disekolah favorit belum tentu dia kurang mampu dalam Pendidikan. Pada kenyataannya kan, mungkin masyarakat Pandeglang masigh beradaptasi dengan pol aini tetap saja kadang dibikin numpang tinggal agar bisa akseske sekolah yang diinginkan,” ungkapnya.(MG02/MYU/LUK/DHE/ENK)
Tinggalkan Balasan