Menilik Wisata Sejarah Petilasan Waliyullah Puncak Gunung Karang

PANDEGLANG, BANPOS – Sejarah Gunung Karang tidak terlepas dari cerita peradaban masa lalu hingga sejarah runtuhnya kerajaan Hindu – Budha. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah situs bercorak kerajaan Hindu – Budha, yakni Menhir.

Menhir adalah batu tunggal berukuran besar yang ditatah seperlunya, sehingga berbentuk tugu dan biasanya diletakkan berdiri tegak diatas tanah. Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik (bahasa Indo-Eropa) yaitu kata men berarti ‘batu’ dan hir berarti ‘panjang’.

Para arkeolog melihat bahwa Menhir digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penghormatan kepada arwah nenek moyang. Salah satu Menhir yang ditemukan di Banten terletak di lereng Gunung Karang, Kampung Pasir Peuteuy, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang. Saat ini Menhir tersebut menjadi sebuah situs religi bernama Pahoman.

Ketika memasuki area situs Pahoman, terlihat batu andesit tinggi tegak berdiri di gundukan bebatuan di bawah pohon besar. Ujungnya dibungkus kain putih. Itulah yang disebut Menhir.

Kemudian di sebelah selatan Menhir itu terdapat lima gundukan batu yang juga ditutup kain putih. Masing- masing memiliki nama diantaranya yaitu petilasan Dalem Pamayungan, Ratu Rincik Manik, Mbah Suling, Mbah Panayagan, Raden Jalu, Mbah Jaga Kawasa dan Raden Pangasuh. Batu-batu berkain putih itu disebut sebagai tanda tempat atau makom para Waliyullah saat berkumpul di sekitar Menhir tersebut pada saat zaman Kesultanan Banten.

Pengurus Lawang Agung Banten sekaligus pegiat Kebudayaan dan Peradaban Islam, Hasuri mengungkapkan bahwa Situs Pahoman dibangun sejak tahun 2001. Kemudian sebelum menjadi tempat wisata religi, dulunya adalah sebuah kebun, semak-semak dan hanya ada jalan setapak.

“Pahoman kini sepertinya sudah dikelola sedemikian rupa. Di arah jalan masuk kawasan telah dilengkapi area parkir, demikian pula jalan tanah setapak itupun sudah di paving blok,” kata Hasuri yang juga sebagai dosen di Untirta kepada BANPOS, Rabu (30/8).

Disamping itu, terdapat mata air yang sangat jernih di area petilasan. Warga setempat mempercayai bahwa air tersebut dijaga oleh Ratu Rincik Manik Rencang Emas. Dimana air itu terus mengalir deras, tidak pernah kering maupun berhenti.

“Airnya memang jernih dan segar. Sampai sekarang aliran air itu digunakan untuk berbagai keperluan masyarakat Desa Pasir Peuteuy. Seperti untuk mengairi lahan pertanian atau untuk kebutuhan rumah tangga,” terangnya.

Menurutnya, Pahoman selain keramat juga sebagai tempat untuk melihat ke masa lalu (sejarah,red). Banyak pengunjung yang datang dengan beragam tujuan. Mulai dari ingin usahanya lancar, hidupnya sukses dan ada juga yang ingin cepat mendapat pasangan hidup.

Disamping itu juga, terdapat hal unik dari tradisi ziarah yakni usai memanjatkan doa kepada Allah SWT, sang kuncen atau ustadz akan menuntun peziarah untuk duduk membelakangi batu berdiri atau Menhir. Kemudian peziarah diarahkan untuk memeluk Menhirnya itu dari belakang.

“Dengan demikian, terdapat kepercayaan bahwa apabila peziarah mampu memeluk Menhir dengan mudah, maka hajatnya akan dikabulkan oleh Allah SWT,” ungkapnya. (dhe/pbn)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *