MANUVER politik Surya Paloh dalam penentuan Calon Wakil Presiden Anies Baswedan, membuat kekisruhan di tubuh Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Partai Demokrat menunjukkan sikap kecewa berat, dengan keputusan yang dinilai sepihak tersebut.
Sikap tersebut dinilai oleh pengamat politik, Usep S. Ahyar, tak lebih sebagai tontonan politik dagang sapi. Artinya, dinamika politik yang terjadi, hanya berlandaskan pada kepentingan-kepentingan elit saja, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat.
“Ini politik dagang sapi lah itu ya. Siapa mendapatkan apa dalam konteks politik praktis. Memang politik kita itu pragmatis banget,” ujarnya saat diwawancara BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (31/8).
Hal itu menurutnya, dapat dilihat dari sikap Partai Demokrat, yang menunjukkan kemungkinan untuk keluar dari koalisi dan membentuk koalisi baru, karena tidak mendapatkan yang dimau, yakni AHY sebagai Cawapres.
“Apakah diakomodir atau tidak kepentingan mereka. Dalam hal ini Demokrat mulai mempertimbangkan tidak di koalisi perubahan dan mungkin membentuk koalisi baru. Itu kan terlihat, tidak diakomodir kepentingannya, akan lari. Bukan kepentingan rakyat, tapi kepentingan elit,” ucapnya.
Usep mengatakan, ditariknya Muhaimin Iskandar menjadi Cawapresnya Anies Baswedan, juga masih bisa saja berubah seiring dengan perjalanan waktu. Pasalnya, dinamika politik di pusat, masih terus berubah hingga puncaknya pada pendaftaran Capres dan Cawapres secara resmi ke KPU.
“Sekarang semuanya masih mungkin ya, sampai nanti Capres dan Cawapres diantarkan ke KPU untuk didaftarkan. Itu pada bulan Oktober ya,” tutur Usep.
Dinamisnya penentuan siapa yang menjadi apa dalam perhelatan Pilpres mendatang, diakui oleh Usep lantaran tingginya tawar-menawar yang dilakukan oleh partai politik, untuk memastikan siapa mendapatkan apa dalam kontestasi 5 tahunan tersebut.
“Jadi ini semua, pergerakan koalisi, dinamika politik, lebih banyak pada pertimbangan-pertimbangan elit, tidak ada pertimbangan-pertimbangan kepentingan rakyat ataupun ideologi. Itu kritik yang harusnya didengarkan, tidak ada kepentingan rakyat yang didengarkan, semua diabaikan. Yang ada adalah kalkulasi-kalkulasi kemenangan,” ungkapnya.
Usep yang juga merupakan akademisi Unsera ini mengakui jika manuver yang terjadi di tubuh Koalisi Perubahan untuk Persatuan, berpotensi merubah percaturan politik nasional. Mulai dari otak-atik ulang komposisi koalisi, hingga evaluasi terhadap Capres yang sebelumnya telah diusung.
“Ini akan berimplikasi pada perubahan koalisi di lawannya. Bisa menjadi empat, bisa menjadi dua koalisi. Misalkan kalau berkembang, bisa saja Demokrat dengan PPP dan PKS membangun koalisi baru. Bisa Sandiaga-AHY. Atau bisa jadi dua, koalisi besar melawan Anies. Bisa juga mungkin koalisi lain meninjau ulang pencapresan calonnya,” tuturnya.
Pergerakan politik lainnya yang lebih pasti menurut Usep, adalah koalisi lain mencari lawan sepadan untuk bisa menandingi Muhaimin Iskandar. Sebab, Muhaimin dan PKB-nya memiliki potensi untuk mengeruk suara dari Jawa Timur yang menjadi basis dari warga Nahdlatul Ulama (NU).
“Memang bisa saja PKB itu bukan Anies-Imin. Karena sebenarnya kalau dari sisi elektabilitas, Anies itu yang kurang di Jawa Timur. Padahal Jawa Timur itu daerah dengan pemilih terbanyak kedua di Indonesia. Jawa Timur ini memang secara kultural itu ke NU. Maka Capres-capres di koalisi lain akan mempertimbangkan untuk mendapatkan suara NU. Memang dari dulu Anies mengincar itu, pernah mengincar Khofifah, tapi sepertinya tidak mau,” ucapnya.
Usep menilai, sebetulnya masih banyak sosok yang dapat menandingi Muhaimin dalam hal menarik suara NU. Di antaranya seperti Mahfud MD, Khofifah, Yenny Wahid, Gus Yahya, Gus Yaqut hingga Ma’ruf Amin. (DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan