LEBAK, BANPOS – Fenomena kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif (Caleg), seperti Wakil Walikota Serang, Subadri Usuludin dari PPP, Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya yang mencalonkan diri dari Demokrat, dan Wakil Bupati Lebak, Ade Sumardi yang mencalonkan diri dari PDIP, menjadi perhatian utama. Hal ini telah menimbulkan sorotan tajam dari politisi Lebak, Musa Weliansyah, yang menganggap bahwa masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah belum berakhir sebelum disahkannya daftar calon tetap (DCT) oleh KPU, dan fenomena ini mengarah pada pemanfaatan jabatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh yang bersangkutan.
“Saya perhatikan ada gejala yang mengarah ke sana. Bupati dan wakil bupati Lebak akan maju sebagai Caleg, dan di setiap kunjungan dinas mereka ke daerah-daerah, seringkali terdapat kampanye terselubung. Ini jelas merupakan pemanfaatan jabatan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Bupati dan Wakil Bupati Lebak,” ungkap Musa kepada BANPOS pada Rabu (11/10).
Iti Octavia Jayabaya, Bupati Lebak, mencalonkan diri sebagai Bacaleg DPR RI dari Partai Demokrat untuk Banten 1 (Lebak-Pandeglang), sementara Wakil Bupati Ade Sumardi akan maju sebagai Caleg dari PDIP untuk Provinsi Banten Dapil Lebak.
Musa mengharapkan bahwa Bawaslu Lebak, sebagai lembaga penyelenggara pengawasan pemilu dan penindakan pelanggaran, harus sudah mengetahui hal ini dan segera memanggil keduanya. “Bawaslu Lebak memiliki jaringan Panwascam di tiap kecamatan, jadi seharusnya tidak ada kecolongan. Mereka juga tidak boleh hanya diam tanpa tindakan, itu tidak disebut sebagai pekerjaan yang baik. Bupati dan wakil bupati sering melakukan blusukan sambil menyelipkan kampanye terselubung dan pesan politik. Bawaslu Lebak harus menindaklanjuti seperti yang dilakukan di Cilegon, dimana Bawaslu sudah memanggil wakil walikota Sanuji karena alasan serupa,” tegas Musa.
Di bagian lain, politisi PPP Lebak ini juga menegaskan bahwa pemanfaatan jabatan oleh Kada dan Wakada menjelang pengesahan DCT serta berakhirnya jabatan merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak boleh diterima. “Sebagai masyarakat yang memiliki etika politik yang baik, kita harus menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan dengan cara apapun. Misalnya, menyelipkan pesan politik dalam pelaksanaan tugas jabatan, ini adalah pelanggaran yang tidak dapat ditolerir. Saya memiliki data-data terkait hal ini,” ungkapnya.
Selanjutnya, Musa menjelaskan banyaknya tahapan pemilu yang dilanggar, seperti pencantuman nomor urut pada baliho alat peraga sosialisasi (APS) calon, padahal tahapan pemasangan alat peraga kampanye (APK) belum diperbolehkan saat ini. “Contoh lainnya adalah baliho APS Bacaleg yang telah mencantumkan nomor urut meskipun DCT belum disahkan. Karena Bupati dan Wakil Bupati masih memegang jabatan, Bawaslu dan Satpol PP Lebak tampak enggan mencopot baliho yang melanggar aturan ini. Ini adalah tindakan yang tidak adil. Tahapan pemasangan nomor urut baru diizinkan pada 28 Oktober, dan DCT dijadwalkan pada 4 November. Oleh karena itu, saya berharap Bawaslu segera bekerja secara profesional sesuai tugasnya, menjaga objektivitas, dan selalu ingat bahwa masyarakat juga mengawasi mereka,” tegas Musa.(wdo/pbn)
Tinggalkan Balasan