BERDASARKAN data World Health Organization (WHO), pada tahun 2019 terdapat sebanyak 800 ribu kasus bunuh diri di seluruh dunia. Angka tersebut didominasi oleh kalangan remaja. Pada tahun tersebut, Asia Tenggara menyumbang cukup banyak kasus. Indonesia sendiri menyumbang sebanyak rerata 3,7 kasus per 100 ribu populasi, menempati urutan kelima dari seluruh negara di Asia Tenggara.
Gangguan kesehatan mental seperti depresi, menyumbang sekitar 55 persen dorongan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Di sisi lain, praktik copycat suicide atau peniruan bunuh diri pun menjadi latar belakang maraknya kasus bunuh diri. Berdasarkan data dari Kepolisian RI, pada tahun 2022 terjadi kasus bunuh diri sebanyak 826 kasus. Jumlah itu meningkat dari tahun 2021 yang berjumlah 613 kasus.
Seorang mantan mahasiswa salah satu universitas di Kota Serang, sebut saja Farqi, pada saat aktif berkuliah sempat berupaya mengakhiri hidupnya sendiri. Mulai dari pembiaran terhadap kesehatan dirinya dengan tidak makan dalam kurun waktu lama, membiarkan dirinya hampir dibunuh oleh kelompok bersenjata tajam, hingga mencoba menembak dirinya sendiri dengan pistol.
Peristiwa itu terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, yakni kisaran 2013 hingga 2021. Farqi seperti itu lantaran dirinya tengah mengalami permasalahan gangguan mental. Bisa dikatakan, dirinya mengalami depresi akut dalam kurun waktu tersebut.
Kepada BANPOS, pria yang berasal dari Tangerang itu mengatakan bahwa gangguan kesehatan mental tersebut dialami akibat adanya permasalahan keluarga. Orang tuanya berpisah pada saat dirinya duduk di bangku SMA. Semenjak itu, ia meluapkan masalahnya dengan bertawuran. Sempat di-Drop Out karena masalah tawuran, sosialisasi dirinya semakin sempit setelah dirinya disekolahkan dengan metode homeschooling.
Keinginan untuk mengakhiri hidupnya semakin tinggi saat ia duduk di bangku kuliah. Ia yang pada dasarnya merupakan anak dari kalangan ekonomi menengah ke atas, semakin terguncang di perantauan dengan menurunnya perekonomian ibunya. Usai bercerai, ia memang memilih untuk tinggal dengan ibunya.
Namun, semua itu berhasil dilewati olehnya. Ia kembali bangkit, dan menjalani kehidupan seperti halnya dulu, sebelum kedua orang tuanya berpisah. Kini, Farqi bekerja sebagai seorang akuntan di salah satu perusahaan di Jakarta. Bahkan, ia mengaku tengah berjuang untuk membentuk keluarga kecilnya sendiri.
Kepada BANPOS, Farqi pun menceritakan, bagaimana dirinya bisa melalui kondisi ‘neraka’ tersebut. Menurutnya, ada dua hal yang menjadi alasan dia keluar dari gangguan kesehatan mental dan mengurungkan niat untuk mengakhiri hidupnya: agama dan teman sebagai support system.
“Jadi ketika pisau sudah dipegang, atau pistol sudah di dagu (pada saat itu), saya teringat ‘bagaimana nanti saya pada saat afterlife atau di akhirat?’. Alhamdulillah itu terus teringat, karena mungkin saya sudah dibekali pemahaman agama sejak kecil,” ujarnya kepada BANPOS.
Ketika situasi sudah sangat tidak dapat dikendalikan, dan tidak ada yang dapat dijadikan sebagai tempat bercerita, Farqi menuturkan bahwa dirinya ‘memaksakan’ diri untuk salat. Di sana, ia mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan, pada saat sedang salat itu.
Lingkungan dirinya ketika tengah berkuliah pun cukup membantu dirinya keluar dari kondisi depresi. Teman-teman kuliah dirinya, dengan senang hati mendengarkan pelbagai masalah yang dirinya hadapi. Meskipun terkadang teman-temannya bercanda dalam menanggapi permasalahan yang ia ceritakan, bahkan ketika dirinya mengungkapkan keinginan untuk mengakhiri hidup, teman-temannya tidak ada yang menghakimi.
Ia pun berpesan kepada mereka yang saat ini tengah berjuang menghadapi situasi depresi hingga mengarah kepada keinginan untuk menyakiti diri sendiri bahkan mengakhiri hidup, untuk berpikir lebih jauh. Ia pun meminta kepada mereka, untuk tidak kehilangan harapan, dan terus berpikir bahwa akan ada hal keren yang mungkin mereka temui di hari esok.
“Karena perjalanan hidup belum selesai, kalian belum lihat secara keseluruhan. I Don’t Know, mungkin kalau saya dulu benar-benar mengakhiri hidup, saya gak bakal menjalani hidup saat ini, gak ada di sini (tempat kerja), gak akan ketemu orang-orang yang menurut saya keren,” ungkapnya.
Ps. Kaur Identifikasi Sat Reskrim Polres Pandeglang, Bripka Bayu Kurniawan, mengatakan bahwa berdasarkan data yang dilaporkan ke Polres Pandeglang, jumlah kasus kematian yang telah ditangani sepanjang tahun 2023 sebanyak 50 kasus.
“Data yang di register atau data yang dilaporkan ke kita selama tahun 2023, sebanyak 50 kasus kematian. Di antaranya gantung diri 6 kasus, meninggal biasa atau sakit 40 kasus dan pembunuhan sebanyak 4 kasus. Untuk data tahun 2022, arsipnya ada namun belum kita benahi di gudang karena bertumpuk dengan arsip yang lain,” kata Bripka Bayu Kurniawan kepada BANPOS, Kamis (19/10).
Dari sebanyak kasus bunuh diri yang ditangani, lanjut Bayu Kurniawan, berdasarkan hasil penyelidikan dan penanganan yang telah dilakukan, rata-rata kasus kematian faktor penyebabnya adalah ekonomi.
“Sekitar 75 persen kasus kematiannya permasalahan ekonomi dan 25 persen permasalahannya itu seperti yang bosan hidup dan seperti ada kelainan jiwa atau bunuh diri. Jadi rata-rata itu faktor ekonomi, menurut saksi yang kita wawancara itu karena dia punya hutang dan yang bunuh diri karena suaminya yang tidak mau kerja, dan yang 25 persen itu karena depresi kejiwaannya terganggu,” terangnya.
Sementara itu di Kota Cilegon, Polres Cilegon mencatat pada tahun 2022 terdapat tiga kasus mengakhiri hidup dengan gantung diri yang ditangani. Ketiga kasus tersebut motifnya berbeda. Kasus pertama diduga motifnya adalah masalah keluarga. Kemudian kasus yang kedua diduga motifnya adalah gangguan jiwa. Kasus yang ketiga diduga motifnya adalah masalah keluarga.
Kemudian pada tahun 2023, Polres Cilegon menangani dua kasus gantung diri. Yang pertama diduga motifnya adalah masalah keluarga. Kemudian kasus kedua diduga motifnya adalah masalah asmara.
Seperti yang disampaikan oleh Farqi, support system yang baik dapat menjadi jalan keluar bagi mereka yang tengah berjuang menghadapi permasalahan gangguan kesehatan mental. Hal itu yang membuat Dompet Dhuafa Banten membentuk lembaga bernama Aku Temanmu.
Diketahui, Aku Temanmu merupakan layanan konseling gratis, yang dapat dilaksanakan secara daring maupun luring. Berlokasi di Kota Serang, Aku Temanmu dibentuk berangkat dari kepedulian dan keprihatinan akan masalah sosial remaja yang marak terjadi.
Wafiq Ajizah, mahasiswa BK Untirta yang juga menjadi volunteer Aku Temanmu, mengatakan bahwa terdapat banyak program yang disiapkan oleh Aku Temanmu terkait dengan konseling kesehatan mental.
“Kegiatannya ada pelatihan konselor sebaya, kajian tentang kesehatan mental, pendampingan konselor sebaya ke sekolah-sekolah, kampanye kesehatan mental di berbagai tempat seperti Alun-alun Kota Serang, Kota Cilegon di CFD dan di kampus kolaborasi dengan mahasiswa,” ujarnya.
Ia mengatakan, pendaftaran konseling tersebut dibuka setiap hari Senin pada pukul 09.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Hari Senin khusus untuk pendaftarannya, proses layanan konsultasi dilakukan setiap hari Selasa hingga Jumat dari pukul 09.00-15.00 WIB,” tuturnya.
Selain itu, pihaknya juga kerap melaksanakan sosialisasi terbuka berkaitan dengan kesehatan mental. Dalam waktu dekat, pihaknya pun akan menggelar Festival Kesehatan Mental yang puncaknya akan dilaksanakan pada 29 Oktober 2023.
“Ada event besar Festival Kesehatan Mental Aku Temanmu, puncak kegiatannya tanggal 29 Oktober, untuk panitianya kolaborasi dengan HMJ BK Untirta, oprek relawan juga untuk kegiatan festival kesehatan mental,” terangnya. (LUK/DHE/MUF/DZH)
Tinggalkan Balasan