Disinformasi, Pilpres, dan Riang Gembira

JAKARTA, BANPOS – Mulanya saya menulis ini karena terinspirasi dari salah satu lagu milik grup band heavy rock-metal asal Indonesia, Seringai yang berjudul ‘Disinformasi’. Lagu tersebut Saya rasa jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, terutama menjelang Pilpres 2024, masing cukup relevan.

Hawa-hawa panas jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah mulai terasa. Tandanya, sejumlah postingan black campaign dari masing-masing simpatisan calon berseliweran di beberapa platform media sosial, seperti twitter dan juga instagram misalnya.

Layaknya bensin tersambar percikan api, tensi tinggi mulai memantik emosi. Akibatnya, debat kusir di antara mereka tidak terelakkan lagi. Tak jarang berita bohong atau hoax turut menyertai di dalamnya.

Hal itu kemudian diperparah dengan keadaan indeks baca masyarakat Indonesia yang tergolong masih rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia.

Konon katanya, berdasarkan hasil riset Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 2021 dan UNESCO pada 2022 menunjukan minat baca masyarakat di Indonesia hanya mencapai 0,001 persen atau ilustrasinya dari 1.000 orang hanya ada satu orang saja yang gemar membaca.

Bahkan menurut penelitian Central Connecticut State University yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked pada 2016 silam, jika diurutkan, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara yang menjadi sampel nya. Posisi itu berada satu tingkat di bawah Thailand di posisi ke 59.

Kita, saya dan anda, mungkin seringkali khilaf untuk memeriksa kembali secara seksama informasi yang diperoleh. Apakah betul informasi yang kita peroleh itu benar adanya? Atau mungkin justru ada pemutar balikan fakta di dalamnya?

Karena ketergesa-gesaan dan sumbu yang teramat pendek itulah kemudian prahara terjadi. Saling caci dan maki tidak bisa terelakan kembali.

Dampaknya tidak main-main. Tidak hanya dapat menimbulkan perasaan sakit hati yang teramat dalam, keutuhan rumah tangga, bertetangga, bahkan bernegara pun juga turut menjadi taruhannya.

Berlebihan? Oh tentu tidak, sebab sudah ada contoh nyata, yakni Pilpres 2019 lalu. Di mana kita, masyarakat Indonesia, pernah terbelah menjadi dua kubu yang kentara sekali bersebrangannya, Cebong dan Kampret.

Dua entitas atau makhluk itu sudah menjadi sebuah identitas ‘negatif’ bagi masing-masing simpatisan calon. Kala itu orang yang menasbihkan diri sebagai pendukung Prabowo disebut sebagai Kampret. Begitupun sebaliknya, orang yang menyatakan diri sebagai pendukung Jokowi adalah Cebong.

Keduanya saling menjelekan, mencaci, dan memaki tiada hentinya. Segala upaya mereka lakukan, bahkan dengan hoax mereka lakukan hanya demi dapat menurunkan nilai dari calon yang diusung tersebut.

Perpecahan dua kelompok masyarakat itu berlangsung lama, bahkan dampaknya hingga saat ini masih juga terasa, meski tidak separah pada 2019 dan awal 2020 silam.

Saya sih berharap di Pilpres 2024 nanti, masyarakat kita jauh lebih dewasa dan bijak dalam menghadapi kontestasi pemilu serta dalam mencerna informasi yang ada. Tidak terburu-buru emosi, apalagi termakan opini pemberitaan yang berseliweran di luaran sana.

Karena dengan begitu lah, satu-satunya upaya yang bisa dilakukan agar perpecahan tidak terjadi. Bukankah kita selama ini menginginkan Pemilu yang riang, gembira, serta ceria kan? *

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *