Setiap Jam, 66 Orang Tewas Karena Covid-19, Wacana Menghapus Data Kematian Dikritik

JAKARTA, BANPOS – Penambahan jumlah kasus positif pada hari ini, Rabu (11/8), mencapai angka 30.625. Sehingga, total kasus terkonfirmasi mencapai angka 3.749.446.

Jumlah kasus harian ini, turun 1.456 angka dibanding Selasa (10/8), yang terekam dengan angka 32.081. Kasus baru sebanyak 30.625 itu diperoleh dari hasil pemeriksaan terhadap 210.815 spesimen (117.883 via PCR/TCM, 92.932 via antigen), dari 135.459 orang dites (66.124 via PCR/TCM, 69.335 via antigen).

Sehingga, diperoleh nilai positivity rate orang harian sebesar 22,61 persen. Sedangkan positivity rate PCR ada di angka 30,66 persen.

Jauh di atas standar maksimal yang ditetapkan WHO, yang hanya mematok angka maksimal 5 persen.
Dari total kasus terkonfirmasi, terdata 426.170 kasus aktif atau pasien dalam perawatan. Atau turun 10.885 kasus dibanding kemarin.

Untuk kasus sembuh, angkanya bertambah 39.931 menjadi 3.211.078 dengan tingkat kesembuhan 85,6 persen.
Sedangkan angka kematian akibat Covid-19, meningkat 1.579 angka menjadi 112.198, dengan tingkat kematian 3 persen.
Atau dengan kata lain, pada pelaporan hari ini, 66 kasus kematian terjadi dalam tempo 1 jam.

Terkait hal tersebut, Tenaga Ahli Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Panji Fortuna Hadisoemarto MPH mengatakan, Dalam kurun waktu 3 minggu terakhir, angka kematian akibat Covid-19 yang cenderung tinggi, dengan Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai kontributor terbesar.

Berdasarkan analisis dari data National All Record (NAR) Kementerian Kesehatan, didapati bahwa pelaporan kasus kematian yang dilakukan daerah, tidak bersifat realtime dan merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.

NAR adalah sistem big data untuk pencatatan laboratorium dalam penanganan Covid-19 yang dikelola oleh Kemenkes.

Berdasarkan laporan kasus Covid-19 di tanggal 10 Agustus 2021, misalnya. Dari 2.048 kematian yang dilaporkan, sebagian besar bukanlah angka kematian pada tanggal tersebut atau pada seminggu sebelumnya.

Bahkan 10,7 persen di antaranya berasal dari kasus pasien positif yang sudah tercatat di NAR, lebih dari 21 hari. Namun, baru terkonfirmasi dan dilaporkan bahwa pasien telah meninggal.

“Kota Bekasi, contohnya. Pada laporan kemarin (10/8), dari 397 angka kematian yang dilaporkan, 94 persen di antaranya bukan merupakan angka kematian pada hari tersebut. Melainkan rapelan angka kematian dari bulan Juli sebanyak 57 persen. Serta angka di bulan Juni dan sebelumnya sebanyak 37 persen. Lalu 6 persen sisanya, merupakan rekapitulasi kematian di minggu pertama bulan Agustus,” jelas dr. Panji.

Contoh lain adalah Kalimantan Tengah. Sebanyak 61 persen dari 70 angka kematian yang dilaporkan kemarin, adalah kasus aktif yang sudah lebih dari 21 hari. Namun, baru diperbaharui statusnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat drg. Widyawati, MKM mengakui adanya keterlambatan dalam pembaharuan pelaporan dari daerah akibat keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data. Menyusul tingginya kasus di daerah mereka, pada beberapa yang minggu lalu.

“Tingginya kasus di beberapa minggu sebelumnya, membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem NAR Kemenkes.” terangnya.

“Lonjakan-lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat, setidaknya selama dua minggu ke depan ,” tambah drg. Widyawati.

dr. Panji menuturkan, lebih dari 50 ribu kasus aktif saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat, namun belum dilakukan pembaharuannya.

“Kita saat ini sedang mengkonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi beberapa hari ke depan, akan ada lonjakan angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali, dalam pelaporan perkembangan kasus Covid-19. Ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi,” terang dr. Panji.

Kementerian Kesehatan sangat mengapresiasi pemerintah daerah, yang telah melakukan pembaharuan data sesegera mungkin.

“Tentunya, ini tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpacu menyampaikan data yang transparan dan realtime kepada publik,” tutur drg Widyawati.

Pada bagian lain, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto kritik rencana pemerintah hilangkan data kematian dalam laporan perkembangan penanggulangan Covid-19. Menurutnya langkah tersebut sangat tidak tepat, karena dapat mengaburkan gambaran jumlah dan persebaran efek fatalitas dari virus itu.

Data kematian akibat Covid-19 itu justru merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan proses treatment dari konsep 3T yakni testing, tracing, treatment.

“Apa ada indikator lain yang dapat mengukur fatality dari Covid-19 ini? Rasanya tidak ada. Karena itu Pemerintah sebaiknya mengevaluasi secara komprehensif dan teliti penyebab tidak akuratnya data angka kematian akibat Covid-19,” ujar Mulyanto kepada wartawan, Rabu (11/8).

Justru, lanjut legislator PKS itu, yang dibutuhkan adalah langkah koreksi dan perbaikan atas data angka kematian Covid-19 tersebut, bukan malah menghapus indikator kematian.

Mulyanto juga menyayangkan sikap pemerintah yang sering blunder dan tidak scientific based dalam penanggulangan Covid-19.

Sebelumnya masyarakat dibuat kaget dengan pernyataan Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan, yang mengaku baru mengetahui pentingnya tracing dalam penanggulangan Covid-19. Padahal pandemi ini sudah berjalan hampir 2 tahun.

Kini Luhut kembali membuat kebijakan yang membingungkan yaitu ingin menghapus data kematian sebagai indikator penanggulangan Covid-19. Alasannya proses input data kematian Covid-19 terjadi kesalahan. Sehingga data tersebut tidak akurat.

“Kalau masalahnya adalah kekeliruan input, maka yang perlu dilakukan adalah verifikasi ulang data yang ada. Jangan indikatornya yang dihilangkan,” katanya.

Pemerintah jangan ingin terlihat berkinerja baik, namun dengan jalan pintas memoles data yang berlebihan. Atau malah dengan cara menghapus seluruh data yang ada.

Ia juga meminta pemerintah jangan main akal-akalan dengan data. Misalnya ingin angka kasus positif harian rendah, maka diupayakan dengan mengurangi jumlah testing. Atau karena melihat angka kematian, yang jelek atau tidak akurat, maka dihapus saja indikator kematian Covid-19.

Karena justru yang perlu dilakukan, harusnya adalah dengan memperbaiki data tersebut. Jangan malah dengan membuang indikatornya.

“Sebab, belum ada indikator pengganti atau indikator lain yang dapat mengukur fatalitas akibat Covid-19 tersebut selain indikator kematian. Sebaiknya Pemerintah tidak menyembunyikan data kematian karena Covid-19 ini,” pungkasnya.(HES/ENK/RMID/JPG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *