Ramai-ramai Tolak Amandemen UUD 1945

JAKARTA, BANPOS – Setelah 20 tahun berlalu, usulan untuk kembali mengamendemen UUD 1945 sempat kembali bergulir. MPR menggulirkan isu tersebut, dan bahkan DPD dengan resmi membuat tim khusus untuk mengolah gagasan-gagasan amandemen UUD 1945.

Gagasan untuk mengamandemen UUD 1945 hadir seiring dengan mencuatnya isu mengenai MPR kembali berperan memilih Presiden, perpanjangan periode masa jabatan Presiden/Wakil Presiden menjadi 3 periode serta MPR menyusun GBHN untuk kemudian dijalankan oleh Presiden.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al-Habsy menegaskan rencana Amendemen Konstitusi UUD 1945 yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini tidaklah tepat. Pasalnya, rakyat sedang menghadapi duka dan kesusahan.

“Banyak rakyat yang ditinggal wafat sanak saudara, banyak juga yang sedang berjuang melawan Covid-19, belum lagi banyak sekali yang berjuang bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi,” ujar Habib Aboe dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/8).

Menurut Habib Aboe, jika saat ini dipaksa melakukan amendemen UUD 1945, maka hal ini menunjukan bahwa seolah parlemen tidak peka dengan situasi, apalagi ketika yang dibahas adalah penambahan masa jabatan presiden.

“Jika dipaksakan rakyat tentu akan melihat ada pihak yang lebih mementingkan kekuasaan dari pada nasih rakyat,” kata Habib Aboe.

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR itu juga menegaskan, pada situasi seperti saat ini, seharusnya semua elemen bangsa saat ini fokus dan berupaya untuk menangani pandemi. Baik dalam layanan kesehatan untuk mengurangi risiko kematian akibat Covid-19, maupun dalam upaya pemulihan ekonomi agar rakyat bisa makan dan bertahan hidup ditengah PPKM.

“Dari pada membahas amendemen UUD 1945, lebih urgen jika saat ini kita menyiapkan roadmap jangka panjang penanganan Covid-19. Karena kita pahami, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan rakyat, ini harus kita pegang teguh,” ujarnya.

Ia juga menilai, road map jangka panjang Indonesia dalam menangani Covid-19 ini sangat diperlukan agar kebijakan dalam pandemi ini jelas peta jalannya. Jangan sampai rakyat melihat penanganan pandemi hanya berganti ganti nama saja tanpa orientasi yang jelas.

“Karenanya keberadaan roadmap jangka panjang penanganan pandemi merupakan kebutuhan mendesak saat ini,” pungkasnya.

Hal senada disampaikan Ketua Fraksi Golkar MPR RI, Idris Laena. Ia menilai saat ini Indonesia tengah fokus melawan Pandemi Covid-19. Sehingga, agenda MPR untuk mengkaji subtansi bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), apalagi Jika harus mengamandemen konstitusi, belum perlu dilakukan dan tidak mendesak.

“Belum mendesak, apalagi saat ini kita masih fokus melawan Pandemi Covid-19. Jika dipaksaan tentu akan melukai hati rakyat,” ujar Idris Laena,” Senin (16/8) di Jakarta.

“Perihal PPHN semua fraksi partai politik di MPR sebenarnya sudah sepakat tentang keberadaan tersebut. Namun, sampai dengan saat ini belum ada keputusan apapun terkait produk hukum untuk mewadahi PPHN,” sambungnya.

Selain PPHN kata Idris Laena, yang patut diapresiasi dalam pidato Jokowi adalah upaya Pemerintah dalam mengatasi dampak Pandemi Covid 19, yang sudah On the track karena dilakukan secara simultan.

“Selain mengatasi Pandemi Covid 19 dari sisi kesehatan dengan terus melakukan testing, tracing dan treatment serta Vaksinasi, Pemerintah juga tetap mengupayakan Pertumbuhan Ekonomi Nasional (PEN) dengan berbagai stimulus yang mendorong tumbuhnya kembali dunia Usaha termasuk para Pelaku UKM,” tandasnya.

Terpisah, Ketua Fraksi PAN DPR, Saleh Partaonan Daulay menilai amendemen UUD 1945 adalah pekerjaan tidak mudah karena perubahan pasal-pasal di dalam konstitusi akan berimplikasi luas dalam sistem ketatanegaraan dan bukan untuk tujuan politik sesaat.

Karena itu menurut dia, sebelum ‘pintu’ amandemen dibuka, sebaiknya seluruh kekuatan politik, masyarakat sipil, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya harus dapat merumuskan agenda dan batasan amendemen itu.

“Konstitusi adalah milik seluruh rakyat, dan perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik sesaat,” kata dia, di Jakarta, Rabu, (18/7).

Saleh menilai, agar agenda amandemen tersebut fokus dan terarah, perlu dilakukan pemetaan terhadap pokok-pokok dan isu yang akan diubah. Sebab menurutnya, sebelum pintu amendemen dibuka, harus ada kesepakatan semua fraksi dan kelompok DPD di MPR terhadap peta perubahan yang diajukan agar tidak ada kekhawatiran bahwa amendemen akan melebar kepada isu-isu lain di luar yang telah disepakati.

“Sekarang ini, amandemen UUD 1945 disebut sebagai amandemen terbatas, apa yang membatasinya? Itu tadi kesepakatan politik antar-fraksi dan kelompok DPD yang ada di MPR sehingga agar lebih akomodatif, semua elemen di luar MPR juga perlu didengar dan dilibatkan,” ujarnya.

Saleh menilai, secara teknis pelaksanaan amendemen juga tidak mudah karena dalam pasal 37 UUD 1945 disebutkan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Menurut dia, untuk mengubah pasal-pasal, sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu dari seluruh anggota MPR.

“Selain berbagai kepentingan politik yang mengelilinginya, persoalan teknis ini juga diyakini menjadi alasan mengapa amandemen sulit dilaksanakan,” katanya.

Padahal menurut dia, pada era MPR periode 2009-2014, isu amandemen sempat menguat atas usulan DPD dan wacana itu berlanjut pada periode 2014-2019.

Ia juga mengatakan, MPR periode 2014-2019, isu-isu yang akan dibahas dan diangkat sudah dirumuskan, namun, amandemen tersebut belum bisa dilaksanakan.

“Apabila hari ini amandemen UUD 1945 diagendakan lagi, maka kesulitan yang sama tetap akan ada, ditambah lagi, Indonesia sedang fokus menghadapi pandemi. Tentu akan ada persoalan ‘kepatutan’ jika melakukan amandemen di tengah situasi seperti ini,” ujarnya.

Ketua DPP PAN itu menilai kalau amendemen UUD 1945 belum siap maka sebaiknya ditahan dulu, dan lakukan dulu kajian lebih komprehensif karena pengkajian itu dapat dianggap sebagai bagian dari proses amendemen.(ENK/JPG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *