CILEGON, BANPOS – Anggota DPRD Provinsi Banten, Syihabudin Sidik mempertanyakan sikap Kejari Cilegon yang belum mengungkap pemberi suap terkait kasus suap penerbitan izin Surat Pengelolaan Tempat Parkir (SPTP) Pasar Kranggot.
Politisi partai Gerindra ini menilai kasus yang menjerat Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Cilegon, UDA sebagai tersangka penerima suap, janggal. Pasalnya sampai saat ini Kejari Cilegon belum menyeret pemberi suap.
“Kalau gratifikasi atau suap itu, logikanya ada penerima ada pemberi. Masih juga ada tanda tanya satu lagi, nggak mungkin uang itu dilempar. Biasanya dia (pemberi suap) pakai pihak ketiga,” katanya saat menghadiri kegiatan silaturahmi kebangsaan DPD PKS ke Kantor DPC Gerindra Cilegon, Senin (23/8).
Lebih lanjut, Syihabudin mempertanyakan mengapa Kejari belum mengungkap kepada masyarakat. Kata dia, dimana pun dalam setiap kasus suap atau gratifikasi pasti menyeret penerima dan pemberi.
“Kalau UDA disangkakan dengan gratifikasi, si pemberinya sampai hari ini masih belum di publish. Mestinya kan lidik dan sidik berjalan serempak, nggak mungkin sendirian,” tuturnya.
Ia menduga, Kejari dalam penanganan kasus terkesan politis. Karena tidak mengungkap kasus terang benderang. “Saya ini kan politisi, kenapa bu Kajari (Ely Kusumastuti) dalam kasus ini seperti bermain politik. Karena kasus ini bukan korupsi, ini gratifikasi. Maka kalau memang tidak ada pihak ketiga, ya pemberinya,” ujarnya.
Syihabudin menginginkan agar kasus tersebut ditegakkan dengan sesuai aturan hukum yang berlaku. Setiap orang yang disangkakan melanggar hukum harus ditindak. Termasuk pemberi suap dalam kasus izin parkir Pasar Kranggot harus diungkap.
“Sekali lagi, law enforcement. Saya punya harapan jangan ada unsur main politik. Karena hukum ditegakkan untuk menjadi panglima. Agar orang berdasarkan fakta dan bukti yang kuat, melakukan pelanggaran, yah diberikan sanksi,” tandasnya.
Sementara itu, Salah seorang pengacara ternama di Kota Cilegon, Agus Surahmat Prawiroredjo menilai penetapan terhadap tersangka UDA terkesan setengah hati. Setengah hati karena penetapan tersangka hanya satu pihak saja. Padahal alasan yuridis jaksa bahwa perbuatan UDA masuk dalam ranah gratifikasi.
Menurutnya, sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai penegakan hukum tentu berita tersebut cukup menggembirakan. Artinya Kejaksaan Negeri Cilegon memenuhi janjinya dalam upayanya penegakan Hukum di Kota Cilegon.
Namun demikian ada yang menarik dalam penangkapan dan atau pengungkapan kasus dalam klasifikasi gratifikasi oleh seorang Penyelenggara Pemerintahan.
“Saat ini kan baru diungkap satu sisi saja yaitu penerima gratifikasi atas dugaan ijin perparkiran di Kota Cilegon. Sedangkan pihak pemberi bagaimana. Hal ini menjadi menarik karena penetapan tersangka hanya satu pihak saja yaitu penerima gratifikasi. Sementara pelaku penyuap atau pemberi gratifikasi tidak ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya Selasa (24/8).
Dijelaskannya, peristiwa hukum tentu akan memaknai bahwa terjadinya peristiwa pidana tersebut terjadi oleh karena adanya hubungan kaosalitas antara pemberi dan yang diberi. Peristiwa pidana tentu tidak dapat terjadi apabila tidak ada peran dari pemberi suap dan atau gratifikasi .
“Sebagaimana ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana,” terangnya.
Akan tetapi, lanjutnya, menurut Pasal 12 C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi.
Selanjutnya, yang dapat di pahami bersama bahwa pemberi gratifikasi melakukan upaya gratifikasi tentu dengan maksud agar pemberi ghratifikasi memperoleh harapan pula untuk mendapatkan sesuatu dari penerima gratifikasi.
Dirinya membuat analogy pembanding yakni sangat tidak masuk logika misal seorang pengusaha, memberikan grtaifikasi kepada penyelenggara negara dengan kerelaan dan tidak dengan maksud untuk memperoleh suatu tujuan tertentu. Tentu hal ini sangat tidak mungkin.
Olehkarenamya dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana pemberian gratifikasi hanya dapat terjadi oleh karena adanya niat dan keinginan bersama untuk memperoleh keinginan bersama dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kadishub Cilegon UDA, telah ditetapka tersangka dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Cilegon dengan dugaan menerima uang sebesar Rp531 juta terkait perizinan parkir di Pasar Kranggot. (LUK/BAR/RUL)
Tinggalkan Balasan