JAKARTA, BANPOS – Praktik jual beli jabatan di negeri ini sudah cukup parah. Jika ditotal, jumlahnya bisa mencapai ratusan triliun!
Mantan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) Sofian Effendi mengungkapkan, praktik jual beli jabatan selama lima tahun mencapai Rp 120 triliun. Dia menyebut, angka itu terakumulasi selama dirinya di Komisi ASN pada periode 2014-2019.
Sofian menghitung, rata-rata total nilai jual beli jabatan di lingkungan kepala daerah setiap tahun mencapai sekitar Rp 24 triliun. “Itu Rp 120 triliun yang terakhir waktu saya di sana tahun 2019. Saya kira sekarang sudah melebihi angka tahun 2019 itu,” kata Sofian seperti dirilis RM.ID dari CNN.
Ia menjelaskan, angka itu dihitung berdasarkan data yang terungkap lewat hasil penangkapan oleh aparat. Termasuk kasus yang ditangani KPK. Sofian menyebut Rp 120 triliun tersebut berasal dari 200 kasus jual beli jabatan yang telah terungkap.
Menurut dia, tingginya nilai praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan karena ongkos politik yang terlalu besar. Sofian mencontohkan, saat ini rata-rata ongkos yang dikeluarkan untuk menjadi bupati antara Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar dan berbeda di setiap daerah.
“Karena mahalnya biaya politik. High cost politics itu. Itu yang menjadi penyebab utama,” ujar mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini.
Ia menyoroti UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memberi kewenangan pada kepala daerah dalam mengangkat dan memberhentikan ASN.
Padahal di beberapa negara, kepala daerah tak memiliki kewenangan tersebut. Kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan suatu jabatan ada pada sekretaris atau sekjen.
“Itulah yang diberi kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian. Bukan menteri, bukan bupati,” jelas Sofian.
Sementara dalam lima tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tujuh kasus jual beli jabatan dilakukan kepala daerah. “Yaitu Klaten, Nganjuk, Cirebon, Kudus, Jombang, Tanjungbalai, dan terakhir Probolinggo,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati Kuding, kemarin.
Ketujuh kepala daerah itu, yakni Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, Bupati Kudus Muhammad Tamzil, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial dan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
Meski sudah banyak yang dicokok, praktik jual beli jabatan tetap marak. “KPK mengingatkan kepada para kepala daerah, agar menjauhi potensi benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang,” kata Ipi.
Potensi korupsi itu terbuka dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi dan promosi ASN di lingkungan pemerintahan. Ini salah satu modus korupsi kepala daerah.
Hasil pemetaan atas titik rawan korupsi di daerah, KPK mengidentifikasi beberapa sektor yang rentan terjadi korupsi. Di antaranya pengadaan barang dan jasa, serta pengisian jabatan.
Untuk mencegah benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang kepala daerah dalam pengisian jabatan, KPK mendorong implementasi manajemen ASN berbasis merit system.(GPG/ENK/RMID)
Tinggalkan Balasan