HARI ini, Provinsi Banten memasuki usia ke-21 tahun. Usia yang tak bisa dibilang muda. Namun, berbagai misi mulia pembentukan Provinsi Banten saat berpisah dari Jawa Barat, masih sering terganggu oleh perilaku koruptif yang marak terjadi di berbagai lini pemerintahan di provinsi ini.
Direktur Eksekutif ALIPP, Uday Suhada, menuturkan bahwa refleksi 21 tahun Provinsi Banten saat ini tidak terlepas dari persoalan korupsi. Bahkan menurutnya, tidak berlebihan jika saat ini Banten disematkan sebagai provinsi sarang korupsi.
“Banten tetap terpuruk karena persoalan korupsi. Karena dari waktu ke waktu dengan bergantinya kepemimpinan di tataran provinsi, persoalan korupsi tidak pernah sepi, dan menjadi persoalan utama di Banten,” ujarnya kepada BANPOS.
Menurutnya, efek dari korupsi sangatlah luas. Karena korupsi disebut sebagai extra ordinary crime atau kriminal khusus yang diluar kebiasaan. Dampaknya pun sangat sistemik karena yang dirampok adalah uang rakyat.
Uday pun flashback ke berbagai kasus hukum yang muncul di era kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah. Di era tersebut, berbagai kasus korupsi muncul, mulai dari hibah bansos hingga korupsi alat kesehatan.
Di era kepemimpinan WH-Andika juga menurutnya tidak lebih bersih dari kepemimpinan Atut. Karena pada era kepemimpinan WH pun, hibah untuk Ponpes juga turut ‘disikat’ oleh oknum pejabat dan pegawai.
“Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya menyebutkan bahwa hasil audit yang dilakukan oleh auditor independen, ada temuan kerugian keuangan negara hingga Rp70,7 miliar. Dan dari Rp70,7 miliar itu, ternyata auditor juga mengambil kesimpulan bahwa ada yang disebut total loss (pada hibah 2018),” ungkapnya.
Ia menuturkan, faktor penyebab terjadinya total loss tersebut adalah perencanaan dan regulasi yang dibuat oleh WH tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Dasar hukumnya ialah Pergub, padahal tidak ada konsideran diatasnya apakah itu Undang-undang (UU), Perpres ataupun sebagainya. Sementara kita tahu bahwa UU Pondok Pesantren itu lahir pada tahun 2019,” terangnya.
Uday mengungkapkan, dari berbagai tahapan yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa Gubernur Banten dalam mengambil kebijakan, tidak berlandaskan yuridis formal.
Seperti halnya penyaluran hibah Ponpes melalui Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP). Penunjukkan FSPP sebagai lembaga penyalur hibah sekaligus penerima hibah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Itu artinya tidak ada dasar yang jelas. Misalnya pengalaman atau experience dari pihak FSPP dalam menyalurkan dana hibah semacam itu. Dasar FSPP sendiri sebagai lembaga penerima hibah tidak jelas,” jelasnya.
Menurut Uday, kasus korupsi yang terjadi saat di era kepemimpinan WH-Andika, seolah-olah de javu era kepemimpinan Atut. Karena, WH dan Atut sama-sama terjadi kasus korupsi hibah dan alat kesehatan (alkes).
“Soal pengadaan alkes, dalam hal ini pengadaan masker. Itu juga terjadi, jadi de javu betul apa yang terjadi 10 tahun yang lalu juga terjadi sekarang,” ungkapnya.
Ia mengaku tidak habis pikir dengan korupsi yang dilakukan pada masa darurat pandemi Covid-19. Secara tegas ia mengatakan bahwa hal itu merupakan tindakan yang mencederai keadilan masyarakat yang sedang dilanda kondisi kritis.
“Artinya dengan pembatasan, dengan kondisi ekonomi yang makin karut marut secara global ditambah dengan perilaku buruk dari para koruptor dari APBN dan APBD yang tidak ada jeranya,” ungkapnya.
Termasuk untuk pengadaan lahan. Pada tahun 2017,ˋ pengadaan lahan untuk SMA-SMK dilaporkan per tanggal 20 Desember tahun 2018. Kemudian mulai ditangani oleh KPK yang salah satunya SMK 7 Tangsel atau kerap disindir sebagai Sekolah Helikopter.
“Nilainya untuk satu sekolah itu Rp17,1 miliar, tapi pemilik tanah hanya menrima Rp7,3 miliar. Artinya, Rp10,6 miliarnya tidak jelas, dirampok oleh orang-orang yang terlibat,” tuturnya.
Begitu pula dengan pengadaan lahan Samsat yang melibatkan terdakwa Dul Samad. Ia menuturkan, hal itu menjadi bagian dari cerita busuk yang selama ini terus berlangsung di Provinsi Banten.
“Pertanyaannya kemudian, bagaimana soal penegakan hukumnya? Secara nasional efek jera tidak diberikan. Dulu ketika pandemi menerpa Indonesia, ketua KPK pada tahun 2020 bahkan pernah mengeluarkan statement mengancam siapapun penyelenggara pemerintahan yang menyalahgunakan keuangan negara untuk dana covid, maka ancamannya adalah hukuman mati,” ujarnya.
Tetapi penanganan yang terjadi atas kasus korupsi yang di Kementerian Sosial yang melibatkan menteri Juliari Batubara, ternyata tidak dituntut hukuman mati, bahkan diringankan karena perundungan.
“Ini miris sekali statement seperti itu. Jadi, bagaimana dapat memberikan efek jera bagi para pelaku maupun para pejabat lainnya atau penyelenggara pemerintahan lainnya, kalau punishment yang diberikan sangat ringan, dan sangat berbanding terbalik dengan persoalan-persoalan lain,” jelasnya.
Ia mencontohkan persoalan narkoba yang hukumannya hingga 20 tahun, seumur hidup bahkan ada yang dihukum mati. Contoh lainnya yakni kasus terorisme. Padahal menurutnya, kasus korupsi itu lebih berbahaya.
“Karena secara pelan-pelan dan tidak langsung membunuh jutaan rakyat di Indonesia yang merupakan level nasional,” katanya.
Di tingkat Provinsi Banten, dirinya mengaku sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, yang dalam waktu relatif berdekatan dapat mengangkat kasus yang cukup besar yaitu kasus hibah Ponpes, pengadaan lahan Samsat Malingping, dan kasus pengadaan masker Dinkes.
“Tetapi ini harus kita kontrol bersama karena kita tahu bahwa godaan untuk mereka cukup besar. Untuk itu saya berharap kepada pimpinan Kejati Banten yang baru dapat berdiri tegak, untuk tidak melihat kiri kanan kecuali hukum, kecuali ingin melahirkan rasa keadilan untuk rakyat Banten,” tegasnya.
Pada momentum HUT Provinsi Banten yang ke-21 ini pun, ia berharap gelora semangat membangun kebersamaan masyarakat sipil dalam melawan korupsi, dapat terus meningkat. Para penegak hukum pun diharapkan semakin berintegritas dalam melawan korupsi.
“Bagi para pejabat dan ASN di lingkungan Pemprov Banten, sudahi lah keserakahan, sudahi lah nafsu untuk kaya raya dengan cara yang tidak benar, dengan cara memangsa uang rakyat. Sebab korupsi itu ibarat kita minum air laut, rasa haus tidak akan pernah hilang sungguh pun perut kita hingga meledak untuk meminum air laut,” tandasnya.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan