Kampus Harus Benar-benar Inklusif

INSTITUSI pendidikan, khususnya pendidikan tinggi harus benar-benar menunjukkan komitmen atas terwujudnya kampus yang inklusi, ramah terhadap perempuan maupun penyandang disabilitas. Sebab, institusi pendidikan merupakan institusi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral.

Pengamat pendidikan Banten, Eny Suhaeni, mengatakan bahwa kasus pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan, merupakan kejadian yang sangat memprihatinkan. Menurutnya, hal itu sangat mencoreng wajah institusi pendidikan yang menjunjung tinggi moral.

“Ini kan institusi pendidikan, apalagi institusi pendidikan tinggi. Seharusnya institusi pendidikan itu bisa bisa menjadi institusi yang menjadi teladan bagi masyarakat dan mencetak sarjana-sarjana yang penuh etika, moral dan akhlak,” ujarnya.

Menurutnya, kejadian pelecehan seksual yang dilakukan oleh Presiden Mahasiswa Untirta pun sangat memprihatinkan. Karena seharusnya, dia memiliki sifat kepemimpinan yang salah satunya menghormati hak-hak perempuan.

“Dia kan harusnya bisa memimpin kawan-kawannya, memimpin para mahasiswa di kampusnya. Seharusnya dia bisa menunjukkan etika dan moral yang tinggi. Leader kan seharusnya menjadi teladan,” ungkapnya.

Bukan hanya untuk KZ saja yang merupakan Presiden Mahasiswa Untirta, Eny menegaskan bahwa seluruh pimpinan organisasi mahasiswa (Ormawa) di perguruan tinggi manapun jika kedapatan melakukan pelecehan seksual, pihak kampus harus segera melakukan tindakan. Mulai dari pemecatan jabatan pimpinannya maupun sanksi akademik lainnya.

“Itu sudah cacat moral namanya. Sanksinya pecat dan turunkan sebagai jabatan pemimpinnya. Karena tidak layak dia menjadi pimpinan, karena seharusnya menjunjung tinggi moral malah menjatuhkan moral diri dan orang lainnya,” tegas Eny.

Menurutnya, pihak kampus pun harus memberikan sanksi yang tegas untuk setiap tindakan pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan. Sebab jika dibiarkan, maka akan memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi para pelaku, untuk melakukan hal yang sama kepada korban-korban lainnya.

“Nanti para pelaku menganggap, di sini mah enggak kena sanksi. Jadilah mereka mencari korban yang lebih banyak. Jangan sampai perguruan tinggi berdiam diri atas kasus itu. Karena kalau berdiam diri, berarti perguruan tinggi telah melanggengkan tindakan amoral,” katanya.

Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Angga Andrias, mengatakan bahwa penerapan kampus yang ramah perempuan dan penyandang disabilitas merupakan suatu hal yang sangat penting. Mengingat perguruan tinggi merupakan institusi yang bertugas mencetak kaum intelektual, yang siap untuk mengabdi di masyarakat.

“Penting banget. Apalagi untuk perlindungan perempuan. Karena kan banyak sekali kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Misalkan bagaimana kejadian pelecehan seksual yang terjadi antara dosen dengan mahasiswanya,” ujar Angga.

Menurutnya, banyak momentum yang bisa menjadi pintu masuk terjadinya pelecehan seksual di dunia pendidikan tinggi. Hal tersebut yang menurutnya harus menjadi konsen untuk dapat dicegah agar tidak terjadi.

“Yah ini kan juga bakal bisa terjadi pada senior ke junior. Namun kayaknya memang banyak dari korban-korban tersebut yang tidak tahu kemana harus mengadu, akhirnya tidak terungkap,” tuturnya.

Di sisi lain, hingga saat ini dirinya menilai bahwa berbagai perguruan tinggi yang ada di Banten, belum memiliki skema yang jelas dalam menghadapi persoalan pelecehan seksual. Sehingga, banyaknya perguruan tinggi yang gagap dalam menghadapi permasalahan itu.

“Kampus juga tidak memiliki skema, tidak punya tempat perlindungan perempuan. Tidak ada tempat atau lembaga di dalam kampus yang bisa didatangi terkait dengan permasalahan pelecehan seksual,” katanya.

Begitu pula dengan penyandang disabilitas. Menurutnya, perguruan tinggi harus bisa mewujudkan kampus yang inklusif. Bukan hanya untuk perempuan saja, namun juga bagi para penyandang disabilitas.

“Disabilitas juga wajib untuk diperhatikan. Karena memang sudah ada aturannya. Beberapa kampus memang sudah memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan, namun sarana penunjangnya yang masih belum ramah,” jelasnya.(DZH/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *