SERANG, BANPOS – Mayoritas pondok pesantren penerima dana hibah, ternyata tak memenuhi persyaratan. Namun, Pemprov Banten disebut memanipulasi data penerima hibah demi memaksakan pencairan dana tersebut.
Hal itu terungkap dalam sidang dugaan korupsi dana hibah ponpes dari Pemprov Banten yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Serang, kemarin. Agenda persidangan kemarin adalah pemeriksaan saksi yang menghadirkan mantan Plt Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Provinsi Banten Ade Ariyanto.
Dalam kesaksiannya, Ade mengungkapkan, pada tahun 2020, ada 1.317 proposal dari ponpes yang mengajukan bantuan dana hibah kepada Biro Kesra pemprov Banten. Seluruh proposal itu kemudian diverifikasi oleh tim dari Biro kesra. Namun, dari hasil verifikasi tim hanya terdapat 491 pesantren yang memenuhi syarat.
Ade mengatakan, persyaratan pemberian dana hibah kepada ponpes, seharusnya mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2019 mengenai Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD. Namun, karena banyaknya ponpes yang tak memenuhi syarat, selaku Plt Kepala Biro Kesra, Ade menggagas pertemuan.
Pertemuan itu digelar pada 18 Maret 2020 dan dihadiri sejumlah pejabat terkait. Diantaranya adalah mantan Kepala Inspektorat Provinsi Banten E. Kusmayadi, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Banten Agus Mintono dan Ketua Presidium FSPP Provinsi Banten Sulaimen Efendi dan Sekjen FSPP Fadlullah.
Oleh terdakwa Irvan Santoso, pertemuan tersebut dinilai mendegradasi syarat dan ketentuan pencairan dana hibah kepada lembaga penerima. Dalam pertemuan tersebut, kata Irvan, beberapa persyaratan yang sudah tertuang dalam Peraturan Gubernur Banten. Salah satu syarat mutlak di dalamnya soal wajib mencantumkan hasil verifikasi lembaga penerima sebelum mencairkan dana hibah untuk pondok pesantren.
“Dalam pertemuan itu hanya dituangkan dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh Pak Ade dan yang lain. Berita acara itu seolah mendagradasi persyaratan yang sudah tertuang dalam Pergub. Apakah ada target dari Gubernur untuk mencairkan? Padahal (pencairan) bisa proses di APBD Perubahan 2020 tanpa harus mengabaikan aturan,” beber Irvan menanggapi kesaksian Ade Ariyanto di Pengadilan Tipikor Serang.
“Ini terkesan ada jalan pintas. Regulasi ini terkesan ‘diakali’ agar target 30 Mei bisa selesai (dicairkan),” imbuh Irvan.
Selain soal melampirkan verifikasi administratif dan faktual lapangan, ada hal yang ‘digugurkan’ dalam kesepakatan pertemuan tersebut yakni soal legalitas lembaga penerima melalui Izin Operasional (IJOP) dari Kementerian Agama.
Hasil pertemuan tersebut menyepakati IJOP lembaga penerima diganti dengan Surat Keterangan Terdaftar (Suket) dari Kementerian Agama.
Namun, tanggapan Irvan dibantah lagi oleh Ade. Ade yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kesejahteraan Bangsa dan Perlindungan MAsyarakat (Kesbang Linmas), menilai pertemuan itu tidak mengurangi persyaratan di Pergub.
“Insya Allah tidak, unsur paksaan dari pimpinan juga,” kata Ade di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Slamet Widodo.
Mengenai penggantian IJOP dengan Suket, Ade menilai banyak pondok pesantren yang tidak memiliki IJOP. Sementara proses memperoleh IJOP sendiri bisa memakan waktu yang lama.
“Sehingga waktu itu, ketika yang bersangkutan sedang mengurus izin dan memang dalam proses, dan dari Kemenag sendiri menyatakan dalam proses, hanya tinggal menunggu IJOP makanya kita terbitkan Suket,” pungkasnya.(PBN/ENK)
Tinggalkan Balasan