Demokrasi Nyaris Mati, Pemberantasan Korupsi Setengah Hati

JAKARTA, BANPOS – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan memasuki masa dua tahun kepemimpinan yang jatuh pada 20 Oktober 2021. Sejumlah lembaga menyoroti sejumlah hal yang membawa Indonesia menuju pelemahan Demokrasi maupun pemberantasan korupsi.

Koordinator Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti mengungkapkan, masih nihilnya komitmen Presiden Jokowi dalam melakukan perbaikan demokrasi. Sebaliknya, kondisi demokrasi justru semakin memburuk dengan abainya negara terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai mandat konstitusi.

“Fenomena-fenomena permasalahan di masa Pemerintahan Joko Widodo cukup menggambarkan bahwa situasi demokrasi Indonesia merosot tajam di tahun kedua kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin,” kata Fatia dalam siaran daring, Selasa (19/10).

Fatia juga menilai, sepanjang dua tahun memimpin di periode keduanya, demokrasi mati secara perlahan. Hal ini dapat dilihat dari situasi kebebasan sipil yang semakin memburuk. Selain itu, semakin masifnya serangan terhadap pembela HAM.

Bahkan negara kian abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pendekatan represif di Papua yang minim koreksi, minim komitmen terhadap instrumen HAM Internasional. Serta nihilnya partisipasi dalam pembuatan regulasi.

“Situasi kebebasan sipil yang semakin memburuk tercermin dari berlanjutnya represi di ruang publik. Berdasarkan data yang telah dihimpun KontraS, sepanjang periode September 2019–September 2021, telah terjadi setidaknya 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi dengan Kepolisian sebagai pihak yang paling banyak melakukan pelanggaran,” ucap Fatia.

Dia menjelaskan, pola pelanggarannya masih seputar pembubaran paksa yang seringkali diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang. Selain pembatasan kebebasan sipil yang terjadi di lapangan, maraknya serangan digital juga kian mengancam masyarakat yang aktif mengkritik dalam media digital.

“Kami melihat, serangan digital paling banyak terjadi pada pihak yang bicara tentang kinerja pemerintah, khususnya pada isu korupsi, dengan bentuk serangannya paling banyak berupa peretasan, ujar Fatia.

Kemudian, lanjutnya, permasalahan ini diperparah dengan keberadaan UU ITE dan pembentukan Virtual Police yang justru mengatur dan menindak ekspresi warga negara. Dalam kasus penggunaan UU ITE ini, penindakan paling banyak terjadi dalam isu-isu yang mengkritik suatu institusi dengan korban yang paling banyak adalah warga sipil.

Oleh karena itu, KontraS menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia dalam dua tahun dibawah kepemimpinan Jokowi telah mengalami kemunduran secara signifikan.

“Apabila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, kami mengkhawatirkan demokrasi di Indonesia akan menuju titik nadirnya,” pungkas Fatia.

Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyampaikan, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa dilepaskan dari peran penting Presiden selama dua tahun terakhir.

“Setelah menyetujui revisi UU KPK, memilih Pimpinan KPK kontroversial dan tuna etika, babak akhir pelemahan KPK adalah TWK KPK,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (19/10).

Menurut Kurnia, sejumlah pegawai KPK yang berintegritas dipaksa berhenti, dipecat sewenang-wenang. Bahkan rekomendasi dan hasil kajian ORI serta Komnas HAM yang menyimpulkan ada maladministrasi serta pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK tidak digubris sama sekali oleh Pemerintah.

“Diamnya Presiden hingga saat ini memberikan sinyal bahwa Presiden setuju dengan TWK KPK,” ucap Kurnia.
Padahal konsekuensi TWK KPK jelas, berbagai kasus korupsi besar yang sedang ditangani oleh sebagian dari 58 pegawai KPK yang dipecat mandeg, berhenti di aktor lapangan yang telah tertangkap.

“Episode lanjutan pelemahan KPK adalah pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK,” papar Kurnia.

Menurut Kurnia, pelanggaran kode etik dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar. Dewan Pengawas KPK menyatakan Lili bersalah atas penyalahgunaan pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani. Lili mendapat hukuman pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Kurnia berujar, pelemahan KPK dapat dinilai juga dari kinerja penanganan korupsinya. Sejumlah kasus korupsi kakap tidak ditindaklanjuti secara serius. Dalam kasus korupsi bantuan sosial yang melibatkan Menteri Sosial Juliari Batubara, KPK tidak mengusut dugaan keterkaitan individu-individu lainnya.

“Padahal dua politisi PDIP, yaitu Ihsan Yunus dan Herman Hery disebut-sebut dalam kasus tersebut. Hingga hari ini, Harun Masiku yang menyuap anggota KPU RI tidak pernah bisa ditemukan,” ungkap Kurnia.

Terlebih dalam kasus suap Walikota Tanjung Balai, KPK terkesan ragu menelusuri dugaan keterkaitan pihak lain seperti Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin. Baru belakangan Azis ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Lampung Tengah.

“Demikian halnya, tuntutan jaksa KPK dalam berbagai kasus korupsi mulai mengalami grafik penurunan,” pungkasnya.(ENK/KPG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *