Bamsoet Kritik Hasil Survei SMRC

JAKARTA, BANPOS – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo menyoroti hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang salah satu hasilnya, mayoritas responden menolak amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia berharap, pertanyaan survei yang diajukan kepada masyarakat tidak menjebak dan menimbulkan kesalahpahaman persepsi di ruang publik.

“Jika pertanyaan surveinya diubah, ‘Apakah bangsa Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang atau pokok-pokok haluan negara?’, pasti hasilnya mayoritas responden akan menjawab, sangat perlu. Sebab, rakyat tidak ingin negara berjalan tanpa ha­luan. Jadi, jangan dibalik-balik,” ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, dalam Focus Group Discussion (FGD) MPR bertajuk “MPR Sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif”, di Press Room MPR, Jakarta, Senin (18/10).

Turut hadir sebagai narasumber, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, dan Staf Ahli Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadiawati. Selain itu, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Moch. Nurhasim, dan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.

Melanjutkan keterangannya, Ketua DPR ke-20 ini menguraikan, aktualisasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam paradigma negara Pancasila mengisyaratkan lima fungsi. Pertama, sebagai mekanisme demokrasi dan alat komunikasi dengan rakyat yang mampu menampung aspirasi seluruh rakyat. Kedua, menjadi media penghubung dan media interaksi bagi bertemunya berbagai arus pemikiran masyarakat dari segala lapisan, etnis, wilayah, maupun golongan.

“Ketiga, berfungsi menjadi saluran aspirasi bagi kelompok minoritas atau kelompok marginal. Keempat, menjadi alat komunikasi dalam menghimpun dan mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah. Kelima, menjalankan fungsi representasi serta fungsi permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia,” papar mantan Ketua Komisi Bidang Hukum dan Keamanan DPR ini.

Bamsoet menjelaskan, dalam diskusi FGD sebelumnya, salah satu gagasan yang mengemuka dari Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis IPB University sekaligus Ketua Dewan Pakar dan Ketua Harian Brain Society Center Prof. Didin S. Damanhuri, PPHN perlu dirumuskan, diantaranya melalui langkah konsensus. Wujud dasar adalah musyawarah untuk mufakat oleh perwakilan rakyat, sebagaimana tertuang dalam rumusan sila keempat Pancasila.

“Permusyawaratan di dalam sebuah lembaga yang inklusif dalam ketatanegaraan Indonesia kontemporer, yang paling ideal dan mendekati cita para pendiri negara-bangsa, adalah melalui MPR. MPR dinilai sebagai lembaga negara yang paling tepat untuk merumuskan PPHN, karena beranggotakan seluruh anggota DPR dan DPD, yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat. MPR tidak sekadar representasi rakyat Indonesia secara keseluruhan, tapi juga representasi rakyat di seluruh daerah,” jelas Bamsoet.

Staf Ahli Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Hubungan Kelembagaan Diani Sadiawati menuturkan, China, Malaysia, Singapura merupakan beberapa negara yang memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang. Sementara Indonesia, urai dia, penyusunan perencanaan pembangunan dilakukan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

“Langkah MPR yang akan merumuskan dan menetapkan PPHN, sejalan dengan arahan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang mengedepankan prinsip No one left behind yang bermakna tidak ada satupun yang tertinggal, terlupakan atau terpinggirkan. Sebab, keberadaan MPR sangat lengkap, terdiri dari anggota DPR dan DPD,” tutur Diani.

Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menambahkan, MPR akan menjadi lembaga perwakilan yang inklusif dan berperan secara efektif dalam merumuskan dan menetapkan PPHN, bila keterwakilannya mencerminkan representasi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Karenanya, selain terdiri dari anggota DPR yang berasal dari partai-partai politik, harus ada Utusan Golongan (UG) dan Utusan Daerah (UD).

“Semua anggota MPR yang berasal dari DPR, harus dipilih melalui pemilu yang demokratis, fair, dan terbuka. Sementara semua anggota yang berasal dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah ditunjuk berdasarkan meritokrasi oleh kelompok/institusinya masing-masing, bukan oleh eksekutif seperti eranya Bung Karno dan Pak Harto,” terang Kiki Syahnakri.[ONI/TIM/PBN/RMID]

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *