SERANG, BANPOS – Ratusan mahasiswa dan petani yang tergabung dalam dua organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Banten dan Serikat Tani Nelayan (STN) Banten geruduk kantor DPRD Banten pada Senin, 25 Oktober 2021.
Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan petani itu merupakan aksi yang kedua kalinya yang sebelumnya digelar pada 24 September 2021 lalu yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Banten, bersama dengan kelompok petani yang tergolong dalam Serikat Tani Nelayan (STN) Banten, menuntut kepada pemerintahan Provinsi Banten agar segera menyelesaikan segala permasalahan dan konflik agraria yang terjadi.
Ketua LMND Banten, Abu Bakar mengatakan bahwa petani di Provinsi Banten masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan secara serius oleh pemerintah, terutama DPRD sebagai representasi masyarakat.
“Sampai saat ini, nasib kaum tani tidak banyak berubah, banyak yang masih miskin dan terus terpinggirkan. Berbagai persoalan dihadapi oleh kaum tani, penggusuran paksa, perampasan hak atas tanah di semua tempat, kekerasan dan penangkapan paksa, pendudukan lahan, pembangunan yang merusak ekosistem hutan, krisis pangan, harga pupuk yang sangat mahal, dan kelaparan,” ujarnya kepada awak media di sela-sela aksi.
Abu mengatakan Provinsi Banten yang merupakan wilayah dengan sektor pertaniannya yang sangat luas dan melimpah, tetapi berbanding terbalik dengan kondisi petani di beberapa daerahnya, yang masih terabaikan, dan diperparah dengan persoalan konflik agraria yang tidak kunjung usai.
“Hal yang dirasa menjadi pemicu konflik agraria yaitu tidak tepatnya hukum dan kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah agraria, baik terkait status kepemilikan tanah, hak-hak atas tanah, dan cara memperoleh hak-hak tersebut,” katanya.
Dia mengatakan bahwa berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Universitas Padjajaran, Fakultas Pertanian pada Tahun 2018, Banten yang sejak tahun 2018 hingga tahun 2019 terjadi alih fungsi lahan di sebagian daerahnya, hingga mencapai angka 3.861.09 hektar.
“Masifnya mega proyek nasional yang dijalankan dibeberapa daerah di Banten, dirasa hanya akan menambah permasalahan baru untuk masyarakat dan petani,” tuturnya.
“Mega proyek yang tengah digenjot tersebut adalah pembangunan jalan tol Serang-Panimbang, proyek ini akan menggerus lahan pertanian di Kabupaten Pandeglang. Terbukti dengan ditetapkanya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Tanjung Lesung, berdampak pada perubahan RTRW di 5 Kecamatan, yang meliputi Kecamatan Pagelaran, Sukaresmi, Bojong, Cibitung, dan Cikeusik menjadi lahan indsutri nasional,” sambungnya.
Ia mengatakan bahwa sejak masuknya program nasional ke provinsi Banten, konflik agraria justru semakin bergejolak, termasuk alih fungsi lahan. Maka dari itu, akibatnya sering terjadi kriminalisasi terhadap geraka tani dalam menolak industri, yang berdampak pada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.
“Dalam Perda Nomor 5 tahun 2004 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), yang menjadi aturan perlindungan petani di Banten, yang terkesan tidak berfungsi dengan baik, dan bahkan Undang-undang sapu jagat yang kerap disebut ‘Omnibuslaw’ hanya akan dijadikan dalih peraturan di atas Perda,” ujarnya.
Maka dari itu, pihaknya bersama dengan Serikat Tani Nelayan Banten pun membawa beberapa tuntutan kepada pemerintah khususnya DPRD Banten.
“Selesaikan permasalahan alih fungsi lahan di 5 kecamatan kab. Pandeglang, sarana prasarana pertanian. Jut, irigasi, pompa air.
dan Kur petani harus segera direalisasikan,” tegasnya.(PBN)
Tinggalkan Balasan