BALI, BANPOS – Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar Lembaga Setjen MPR Budi Muliawan menceritakan 93 tahun yang lalu, para pemuda yang memiliki berbagai latar belakang suku dan agama berkumpul di Jakarta untuk menggelar Kongres II Pemuda tahun 1928.
Apa yang dihasilkan dari kongres itu menurut Budi Muliawan melahirkan gagasan yang monumental dan besar. “Sumpah Pemuda yang dideklarasikan menjadi benih lahirnya bangsa Indonesia. Sebagai peristiwa yang monumental maka hari dideklarasikannya sumpah itu, setiap tahunnya kita peringati,” ujar Budi di awal paparannya.
Paparan ini disampaikan oleh Budi Muliawan saat dirinya menjadi pembicara dalam diskusi yang bertema Peran Pemuda Dalam Pembangunan. Diskusi tersebut merupakan rangkaian acara Sarasehan Kehumasan MPR Tahun 2021, Menyapa Sahabat Kebangsaan.
Kegiatan yang diselenggarakan di Auditorium, Gedung Conefo, Universitas Mahendradatta, Kota Denpasar, Bali, Senin (1/11) itu dihadiri anggota MPR dari Kelompok DPD, Dr SHRI I Gusti Arya Wedakarna, Kepala Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR Siti Fauziah, Rektor Universitas Mahendradatta Dr. Putri Anggeri, serta para civitas akademika Universitas Mahendradatta.
Lebih lanjut dikatakan Budi, pada Kongres Pemuda II, peserta tidak hanya melakukan sumpah setia namun pada saat itu juga dikumandangkan lagu gubahan WR Supratman yang berjudul Indonesia Raya. “Lagu Indonesia Raya sudah dikumandangkan pada kongres padahal kita belum merdeka,” paparnya.
Sebelum para pemuda berkongres, ditambahkan Budi, tahun 1908 juga tumbuh organisasi kepemudaan, Budi Utomo. Organisasi itu mempunyai cita-cita untuk Indonesia merdeka. Dari semua yang dilakukan oleh para pemuda, sejak 1908, menunjukan bahwa kaum ini merupakan agen perubahan. “Sehingga kita merdeka karena hasil perjuangan bukan pemberian,” tuturnya.
Meski kita sudah merdeka, namun Budi mengingatkan, tantangan masa lalu dan masa sekarang ada persamaannya. Disebutkannya, tantangan sejak dulu hingga sampai saat ini adalah kesejahteraan dan pendidikan yang belum merata. Ini tugas bersama untuk mengatasinya.
Tantangan yang dihadapi oleh bangsa menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini, tak hanya soal tidak meratanya pendidikan dan kesejahteraan namun juga sisi negatif dari kemajuan teknologi informasi.
Dikatakannya, dulu penyebaran informasi lewat media yang sifatnya cetakan, seperti koran dan majalah. Saat ini penyebaran informasi lewat media digital atau elektronik sehingga penyebarannya menjadi lebih cepat.
“Apa yang terjadi di Jakarta saat ini bisa langsung diketahui di Bali,” sebutnya.
Nah, sisi negatif dari kemajuan teknologi yang disebarkan lewat media sosial adalah adanya orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang menyebar berita hoax atau berita bohong.
Agar berita hoax tidak massif, MPR mengajak mahasiswa Universitas Mahendradatta untuk menjadi sahabat kebangsaan untuk menangkal berita bohong atau hoax itu.
“Kalau kita diam terhadap hoax maka berita bohong itu seolah-olah menjadi berita yang benar,” ungkapnya.
Dengan mengajak mahasiswa menjadi sahabat kebangsaan, maka ruang-ruang yang ada di media sosial akan diisi dengan sesuatu yang optimistis dan positif.
I Made Mulyawan Subawa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta yang juga menjadi pembicara diskusi mengatakan, sejak tahun 1908, pemuda, mahasiswa, merupakan ujung tombak pergerakan.
Disebutkannya, pergerakan yang dilakukan oleh pemuda yang mampu membawa motor perubahan terjadi pada gerakan tahun 1908, 1928, 1945, 1966, dan 1998. Tantangan yang dihadapi oleh pemuda saat ini menurut Made ada tiga, yakni korupsi, ancaman perpecahan bangsa, dan berita hoax.[TIF/PBN/RMID]
Tinggalkan Balasan