Hukuman Mati untuk Koruptor Sebatas Retorika

JAKARTA, BANPOS – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengomentari wacana penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, pernyataan Burhanuddin yang mewacanakan hukuman mati bagi koruptor hanya jargon politik, untuk mempertahankan eksistensinya.

Penegakkan hukum yang dilakukan jajaran Kejaksaan Agung dinilai belum optimal dan berkualitas. Terlebih, Ketua KPK Firli Bahuri pun sempat menyampaikan hukuman mati bagi koruptor, tetapi hanya sebatas retorika.

“Entah itu presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung), pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik,” kata Kurnia, Kamis (4/11).

Apalagi, lanjut Kurnia, penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung masih memperlihatkan keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi. Padahal, jika berkaca pada kualitas penegakan hukum yang dilakukan, hasilnya masih buruk.

“Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi,” lanjutnya.

Dari permasalahan tersebut, ICW pun mempertanyakan apakah hukuman mati adalah jenis pemidanaan yang paling efektif untuk memberikan efek jera kepada koruptor, sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia. Dia pun mempertanyakan apakah kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sudah menggambarkan situasi yang ideal, untuk memberikan efek jera kepada koruptor.

“Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di Korps Adhayksa ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Pinangki Sirna Malasari,” cetus Kurnia.

Hal ini dibuktikan saat Kejaksaan Agung menuntut Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan hukuman yang sangat rendah. Menurutnya, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi.

“Belum lagi jika berbicara tentang lembaga kekuasaan kehakiman. Fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi,” ungkap Kurnia.

Pegiat antikorupsi ini pun menyebut, dalam catatan ICW hukuman penjara masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020. Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas.

“Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp 56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp 19 triliun,” ungkap Kurnia.

Terpisah, pakar hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyebut, hukuman mati selama ini belum terbukti memberikan efek jera bagi para koruptor. Seharusnya dalam penegakan hukum kasus korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian dan lebih baik hukuman seumur hidup.

“Keterkaitan hukuman mati dan efek jera memang belum bisa dibuktikan. Seharusnya memang dalam korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian daripada hukuman mati. Hukuman seumur hidup atau 20 tahun juga cukup,” ucap Akbar.

Dia mengutarakan, pada proses peradilan pidana memang merupakan bentuk pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, penyitaan dan penahanan itu juga diperbolehkan.

“Jika keberatan sudah disediakan mekanisme praperadilan atau mekanisme keberatan sebagai pihak ketiga,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan jajarannya untuk mengkaji hukuman mati bagi para pelaku perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Hal tersebut disampaikan Jaksa Agung saat memberikan briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari, di Kalimantan Tengah, Kamis (28/10) lalu.

“Sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud,” ucap Burhanuddin dalam keterangannya.

Meski demikian, kajian itu harus tetap mempertimbangkan dan memperhatikan hukum positif yang berlaku serta nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Terlebih juga, harus memastikan perampasan terhadap harta kekayaan para pelaku korupsi, demi menggantikan kerugian negara.

“Agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi,” pungkas Burhanuddin.(ENK/JPG)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *