SERANG, BANPOS – Gelombang aksi buruh yang menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dituding akibat dari adanya kebijakan dari DKI Jakarta yang merevisi UMP Hingga menjadi 5,1 persen. Namun, di pihak lainnya, Gubernur Banten justru diminta untuk belajar upaya meredam konflik yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta.
Pengamat Kebijakan Publik, Ibrahim Rantau, menuding kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, sebagai biang kerok gelombang aksi unjuk rasa buruh di Provinsi Banten. Menurutnya, Anies telah melangkahi pusat dengan merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi 5,1 persen.
“Menurut saya demo saat ini ada efek Gubernur DKI Jakarta yang telah merevisi UMP menjadi 5,1 persen, dan itu berimbas harapan ke daerah lain termasuk Banten,” ujar Ibrahim dalam rilis yang diterima BANPOS, Kamis (23/12).
Menurut Ibrahim, Anies Baswedan telah melangkahi aturan dalam melakukan revisi terhadap besaran UMP di DKI Jakarta. Sebab, formulasi pengupahan merupakan kebijakan dari Pemerintah Pusat, bukan Pemerintah Daerah.
“Menurut saya Gubernur DKI Jakarta telah melangkahi keputusan pemerintah pusat, karena pengupahan formulasi kebijakan pusat bukan daerah, karena tak ada diskresi kepala daerah soal pengupahan,” katanya.
Ia pun membela kebijakan penentuan besaran upah bagi buruh, yang ditetapkan oleh Gubernur Banten, Wahidin Halim. Menurutnya, kebijakan pengupahan yang diambil oleh Wahidin telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Gubernur Banten telah sesuai dalam menetapkan UMP dan UMK 2022, karena itu amanat Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang pengupahan,” ungkap Dosen yang mengajar Unis Tangerang ini.
Maka dari itu, ia pun mengaku aneh dengan para buruh yang justru malah mendemo Gubernur Banten. Sebab jika para buruh ingin protes terkait dengan besaran UMP dan UMK, seharusnya Pemerintah Pusat lah yang mereka demo.
“Kalau mau protes ya ke Presiden bukan ke Gubernur. Karena Kepala Daerah tidak punya diskresi atau keleluasaan menetapkan besaran upah. Karena itu formulasinya dari pusat,” terangnya.
Ibrahim pun meminta kepada Presiden untuk membina Kepala Daerah yang tidak sejalan dan tidak mengikuti arahan pusat, terlebih Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
“Presiden harus segera bertindak tegas dan membina kepala daerah yang tidak patuh dan melangkahi kebijakan pemerintah pusat,” tandasnya.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Fahri justru menyarankan agar WH mencontoh Anies Baswedan dalam menghadapi aksi unjuk rasa buruh.
“Saya rasa Gubernur Banten harus banyak belajar kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dulu pernah terjadi aksi unjuk rasa buruh di DKI Jakarta, tapi Anies Baswedan mampu mengendalikan massa aksi dengan dirinya turun masuk ke barisan massa aksi dan berdialog dengan para buruh, bahkan sampai duduk bersila di aspal,” kata Fahri.
Fahri menilai bahwa konflik pemimpin dan rakyat itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari, pasti ada. Kasus unjuk rasa buruh ini menunjukan kegagalan Gubernur Banten dan timnya membangun komunikasi yang baik.
“Saya menilai ini kegagalan Gubernur Banten dalam membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat, mestinya harus melakukan pendeteksian lebih luas dan dalam arah gerakan buruh yang berjilid-jilid ini,” kata Fahri
“Ini kejadian pertama kantor gubernur sampai diduduki, dan saya yakin jika gubernur reaktif dalam kasus ini malah akan menambah kegaduhan,” sambung Fahri
Selain komunikasi Gubernur yang gagal, Fahri menuding ada masalah dalam membangun loyalitas terhadap aparat kepolisian.
“Gubernur juga sepertinya tidak loyal terhadap aparat kepolisian, padahal jika aparat loyal maka aksi itu bisa untuk dikendalikan, dan ini bukan kebetulan, kita tau semua gerakan aksi massa adalah by design. Saya sepakat siapapun yang melanggar hukum harus ditindak tegas. Tapi tim ahli Gubernur jangan juga cuma bisanya marah dan mengutuk aksi buruh, seharusnya bukan mengutuk tapi bagaimana membuat formulasi agar aksi apapun harus berujung damai dan simpatik,” kata Fahri
“Rakyat itu cermin pemimpinnya. Jadi saran saya Gubernur Banten tidak usah bersikap arogan menghadapi persoalan ini, harus menggunakan pendekatan persuasif dan bangun komunikasi yang baik,” imbuh Fahri
Sementara itu, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) menyatakan, penetapan UMK Banten mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Oleh sebab itu, dirinya sebagai kepala daerah wajib mentaati dan melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan peraturan perundang-undangan tersebut.
Menurutnya, kepala daerah takut untuk mengambil keputusan maka memilih untuk mengikuti peraturan. Kata dia, UU dan Peraturan memberikan kewenangan pada pemerintah daerah namun tetap saja akan terikat.
WH mengaku, bukannya dia takut terhadap sanksi apabila tidak menaati peraturan dan UU. Namun, lebih kepada prospektif kegiatan usaha berjalan menanggulangi pengangguran.
Menurut WH yang menjadi pertimbangan apabila UMK naik sesuai keinginan buruh dikhawatirkan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lantaran perusahaan tak sanggup dengan upah tersebut, sehingga pengangguran meningkat.
“Jadi memang di indonesia ini perlu diklasifikasi konflik perburuhan dan modal tiap tahun. buruh tiap tahun minta naik pengusaha tidak mau naikin tapi demonya mah ke pemerintah Kota dan Kabupaten,” jelas WH.(DZH/RUS/PBN)
Tinggalkan Balasan