Gempa Sumur Bukan Ancaman Sesungguhnya, Megathrust Terus Mengintai

JAKARTA, BANPOS – Pasca gempa Banten dengan kekuatan 6,6 magnitudo, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kasih warning serius. Kata lembaga pemantau gempa ini, ada ancaman gempa besar di Selat Sunda. Kekuatannya sekitar 8,7 magnitudo. Semoga tak sampai kejadian ya. Amin.

Soal ancaman gempa besar itu diungkap Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, kemarin. Dia mewanti-wanti masyarakat Banten dan sekitarnya, agar lebih waspada. Karena diprediksi, ada potensi gempa besar dari patahan megathrust di Selat Sunda.

“Gempa Ujung Kulon kemarin sebenarnya bukan ancaman sesungguhnya, karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7. Dan ini dapat terjadi sewaktu-waktu,” ujar Daryono.

Diakuinya, sampai saat ini belum ada rumus atau teknologi yang mampu memprediksi dengan tepat kapan gempa itu terjadi. Sehingga, masyarakat harus bersiap dengan berbagai dampak yang akan terjadi. Mengingat, patahan megathrust melintang di selatan Pulau Jawa, termasuk dari pantai barat Sumatera sampai ke Nusa Tenggara Timur.

Bukan maksud menakut-nakuti, atau bikin masyarakat panik. Namun, ancaman ini harus benar-benar diantisipasi. Pasalnya, sudah lama di Selat Sunda.

“Inilah ancaman yang sesungguhnya. Kapan saja dapat terjadi. Karena Selat Sunda ini merupakan salah satu zona seismic gap di Indonesia yang selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujarnya.

Menurut dia, Selat Sunda berada di antara dua lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami. Yakni, gempa Pangandaran magnitudo 7,7 pada 2006 dan gempa Bengkulu magnitudo 8,5 pada 2007.

Untuk diketahui, Selat Sunda memang sering menjadi lokasi gempa dan tsunami. Tsunami Selat Sunda akibat gempa terjadi pada tahun 1722, 1852, dan 1958. Tsunami terjadi pada tahun 416, 1883, 1928, dan 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami pada 1851, 1883, dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.

“Gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan. Bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa. Namun, dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu, kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret,” pesannya.

Adapun mitigasi konkretnya seperti membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami, kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi, seperti perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami.

Mitigasi yang diperlukan dan penting berupa penyiapan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri. Di samping itu, BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat.

Kata Daryono, gempa 6,6 magnitudo di Banten kemarin, merupakan gempa di area megathrust. Namun, termasuk gempa dangkal akibat patahan batuan Lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah Selat Sunda-Banten.

Itu adalah gempa interslab earthquake. Ciri-cirinya mampu meradiasikan guncangan (ground motion) yang lebih besar dan lebih kuat dari gempa sekelasnya dari sumber lain. “Sehingga wajar jika gempa ini memiliki spektrum guncangan yang sangat luas, dirasakan hingga Sumatera Selatan hingga Jawa Barat,” katanya.

Meski hanya 6,6 magnitudo, sejumlah wilayah di Tangerang, Jakarta, Bogor, dan Bekasi merasakannya. Padahal, berdasarkan informasi dari BMKG, gempa tersebut terjadi pada kedalaman 10 kilometer di laut.

Peringatan soal ancaman gempa besar juga pernah disampaikan Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas pada pertengahan tahun lalu. Menurut dia, gempa besar di Selatan Jawa yang diprediksi sampai 8,7 magnitudo itu akan menyebabkan terjadinya tsunami dengan ketinggian 20 meter.

Berdasarkan hasil simulasi model, run up tsunami dapat mencapai sebagian besar Pluit, Ancol, Gunung Sahari, Kota Tua, dan Gajah Mada. Istana Negara juga bakal kena.

Disinggung kapan gempa dan tsunami itu terjadi, Heri menjelaskan, hingga kini belum ada ilmuwan yang bisa memprediksi kapan datangnya gempa.

Hal itu karena itu tsunami akibat gempa megathrust tidak bisa diprediksi kapan waktunya.

Namun, karena gempa bumi sifatnya berulang, sehingga gempa yang telah terjadi akan terjadi lagi di masa kini dan yang akan datang. Secara bahasa keilmuannya disebut earthquake cycle.

“Bisa besok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, bisa kapan saja,” ujar Heri.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily bereaksi terkait pesan BMKG soal megathrust Selat Sunda. Ia meminta, para pemda serius menanggapi peringatan dari BMKG melalui latihan simulasi bencana. Dengan begitu, masyarakat benar-benar siap jika gempa itu benar-benar terjadi.

Tak kalah pentingnya, pemerintah juga harus memastikan ketersediaan tempat evakuasi hingga jalur evakuasi. “Termasuk jenis bencana apa yang akan terjadi di era tersebut. Misalkan daerah Selat Sunda, maka harus selalu dilakukan intensif kesiapsiagaan kita menghadapi tsunami, ketersediaan tempat evakuasi, shelter, titik evakuasi diarahkan,” kata Ace.

Politisi Golkar ini menegaskan, peringatan BMKG patut diwaspadai. Penting saat ini untuk mengedukasi masyarakat dalam menghadapi bencana. Begitu juga peralatan BMKG, khususnya pendeteksi gempa, bisa menjangkau ke seluruh masyarakat agar siap siaga menghadapi gempa maupun tsunami.(MEN/ENK/RMID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *