SERANG, BANPOS – Pasca banjir yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Banten, Pemerintah disebut gagap Banjir. Tak hanya itu, Provinsi Banten yang tidak memiliki pusat informasi bencana pun mengakibatkan penanganan pemerintah pasca banjir sangat semrawut.
Demikian disampaikan Relawan Banten, saat menggelar konferensi pers di posko Relawan Banten, Minggu (6/3). Dalam kesempatan tersebut, sejumlah data-data yang disampaikan berdasarkan pengamatan di lapangan secara langsung.
Relawan Banten, Lulu Jamaluddin, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman langsung, pihaknya menerjunkan sejumlah relawan dari berbagai daerah. Sejak hari pertama, terdata sebanyak 70 relawan dari Bandung, Depok dan Bekasi.
“Bahkan, tim kesehatan pun didatangkan dari wilayah Bandung. Ini kejadian suatu kegagapan Pemerintah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, banjir di awal Maret lalu bukan banjir Kota Serang. Sebab, usai banjir terbesar di kota serang, menyusul banjir di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, disertai tanah bergerak yang menyebabkan 43 umah di Kabupaten Lebak bergeser dan retak.
“Selanjutnya, Provinsi Banten saat ini tidak mempunyai informasi bencana, mengakibatkan penanganan pemerintah pasca banjir sangat semrawut,” tandasnya.
Relawan lainnya, Nana, menyebut bahwa Sungai Cibanten telah kehilangan fungsi aslinya, yaitu sebagai jalur transportasi air. Kondisi sungai yang makin dangkal dan menyempit tersebut, diduga disebabkan adanya pengendapan material dari Gunung Karang yang ikut terbawa arus air, misalnya lumpur.
Penyebab banjir Banten banyak beberapa faktor yaitu mulai ada perubahan tata guna lahan di hulu. Ada penambangan di tengah, setelah bendungan Sindangheula dan ada penyempitan yang diakibatkan bangunan bangunan lokasi belum diketahui pasti.
“Banyak faktor itu yang harus dievaluasi oleh pemerintah sehingga masyarakat tahu, penyebab banjir juga diakibatkan oleh masyarakat di samping buang sampah yang dapat menyumbat sungai Cibanten. Tapi yang pasti, sejak tahun 1974 tidak pernah ada banjir sedahsyat banjir kali ini, justru itu terjadi semenjak bangunan sindangheula ada,” ungkapnya.
Ia menegaskan tak sedikit masyarakat yang mencurigai ada sesuatu yang salah dari pengelolaan bendungan Sindangheula melalui operator BBWS3C. Bahwan menyebut pengelolaan tersebut salah, sebab sejak tahun sebelumnya pun belum pernah ada banjir sebesar dan sedahsyat kali ini.
“Kita bisa lihat ada yang rusak dan memicu kecepatan air segala macam, sehingga akibatnya sangat luar biasa. Ini jadikan pembelajaran kalau memang kapasitasnya yang hanya 9 juta kubik, bagaimana caranya agar over capacity dari bendungan Singdangheula itu tidak lagi bermasalah, mereka (BBWS3C) paling tahu lah metode paling aman untuk mengatasi itu,” jelasnya.
Nana mengaku, seharusnya semua pihak belajar dari bendungan Katulampa. Meskipun wilayah Jakarta banjir, akan tetapi sudah ada sistem yang dibangun Katulampa, bahwa selalu memberikan informasi ketika akan melepas air dengan jumlah kubik yang ditentukan, dan kawasan mana saja yang terdampak.
“Itu yang kita butuhkan di sistem bendungan Singdangheula. Pas kejadian tidak ada peringatan apapun yang disampaikan oleh pemerintah baik kota ataupun provinsi, maupun bendungan sindangheula sendiri,” ucapnya.
Dengan adanya sistem yang direncanakan dengan baik, maka seluruh pihak dapat mengantisipasi sejumlah dampak yang terjadi di wilayah-wilayah dan penanganan yang dilakukan.
“Kita belajar dari itu, apabila sistemnya dibangun, karena sejauh ini usai dibangun dan sampai hari ini tidak ada sistem yang dibangun. Sehingga itu perlu dilakukan, agar kedepan kita lebih siap menghadapi hal-hal seperti itu,” tandasnya. (MUF)
Tinggalkan Balasan