KPK Pelajari Putusan MA Yang Sunat Hukuman Edhy Prabowo

Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyatakan, komisinya belum menerima pemberitahuan resmi putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan yang ditujukan kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.

“Segera setelah kami terima akan kami pelajari putusan lengkapnya tersebut,” ujar Ali Fikri dalam keterangannya yang diterima, RM.id, Kamis (10/3).

Dia menyatakan, KPK menghormati putusan majelis kasasi yang meringankan hukuman Edhy Prabowo dari putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Namun, dia mengingatkan, kejahatan korupsi berbeda dengan tindakan kriminal lainnya. Karena itu, perlakuan penanganannya pun berbeda.

“Korupsi sebagai musuh bersama dan kejahatan luar biasa. Maka cara-cara pemberantasannya pun dilakukan dengan cara yang luar biasa,” tegasnya.

Pemberantasan korupsi butuh komitmen kuat seluruh elemen masyarakat. Terlebih, komitmen dari penegak hukum itu sendiri. “Satu di antaranya tentu bisa melalui putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat, dan juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang,” tambah Ali.

Dia bilang, pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakkan hukum tindak pidana korupsi. Contohnya bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik. “Oleh karenanya, putusan majelis hakim seyogyanya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extra ordinary crime,” tutupnya. Selain hukuman kurungan, MA juga memangkas pencabutan hak politik Edhy Prabowo dari 3 tahun menjadi 2 tahun. Hukuman itu dihitung seusai Edhy menjalani masa kurungan.

Dalam pertimbangannya, hakim beralasan, pemangkasan hukuman Edhy Prabowo dilakukan karena hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo.

Edhy, menurut hakim, dianggap telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Dia memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan. “Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan,” beber Jubir MA Andi Samsan Nganro.

Salah satunya, mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 12/PERMEN-KP/2020 dengan tujuan, yaitu adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 12/PERMEN-KP/2020 tersebut, eksportir disyaratkan untuk memperoleh Benih Bening Lobster dari nelayan kecil penangkap BBL. “Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil,” ungkapnya. Sebelumnya, hukuman Edhy di tingkat banding diperberat, dari semula 5 tahun penjara, menjadi 9 tahun penjara. Politisi Partai Gerindra itu juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 9.687.447.219 dan 77.000 dolar AS atau setara Rp 1,1 miliar dengan kurs saat ini, dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan.

Majelis tingkat banding juga mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun setelah dia selesai menjalani masa pidana pokok atau hukuman 9 tahun penjara.

Edhy dinilai terbukti menerima suap sebesar 77 ribu dolar AS atau sekitar Rp 1,12 miliar dan Rp 24,62 miliar terkait proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada para eksportir. [UMM]

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *